Selasa, 03 Februari 2015

Dicakar Masa Silammu




Mata lelaki itu mulai sayu. Tersirat sejuta kesenduan dalam dirinya. Hujan yang sedari tadi mengguyur ranah kelahirannya itu tak lagi menyisakan kembang tawa di bibirnya. Kelebat wajah gadis itu masih malang melintang dalam benaknya. Ingin rasanya ia membebaskan diri dari semua jerat yang tengah mengujinya. Sebuah kebimbangan dan rasa terpukul selalu menghantuinya, seolah hantu yang meneror si pembunuhnya.


                Jarum jam masih berputar. Pukul empat sore. Sedangkan mata lelaki itu tak henti menatap layar ponselnya yang kini masih padam. Tak ada sebuah pesan maupun telepon dari siapa pun.
                Ia menyibukkan diri dengan membuka sosial media. Hanya sekadar menurunkan kadar frustasi yang mencabiknya. Seketika itu ponselnya berdering. Sebuah panggilan masuk dari seseorang mampu membuat matanya terbelalak dan jantungnya berdebar kencang. Ada rasa canggung untuk mengangkat telepon tersebut. Dengan keberanian yang tinggal sepersen saja, ia mengangkat telepon dengan nada gemetar.
                “Ya, halo.”
                “Ceritakan padaku kejadian yang sebenarnya, Mas. Apa gunanya kamu mengelak semua pertanyaan-pertanyaanku kemarin?” suara itu terasa menohoknya seketika.
                “Apa yang perlu kujelaskan lagi, Anggun?” jawab lelaki itu dengan mata yang berkaca-kaca. Ia terasa membuat lubang luka baru dalam diri gadis yang kini sedang berbicara di seberang sana.
                “Ya, semuanya. Tentang mantanmu itu. Mbak Sri, atau siapalah namanya. Jujur, Mas aku tidak marah padamu, namun penjelasanmu yang tak pernah tuntas seolah membuatku terjatuh pada luka yang tak kunjung sembuh,” timpal gadis yang bernama Anggun itu sembari sesegukan menahan tangis.
                “Aku mengerti. Seperti artikel yang biasa kubaca. Jika seorang lelaki masih mengingat mantannya sedangkan ia sudah punya kekasih, maka sama saja ia tak mencintai kekasihnya itu,” jelas lelaki itu dengan nada datar.
                Suasana menjadi hening. Anggun belum menanggapi perkataan lelaki itu. Ia seolah tengah mencerna setiap kata yang meluncur dari bibir kekasihnya dan tak ingin berdebat lebih panjang lagi.
                “Ya, tujuh puluh lima persen hal itu benar, Mas. Dan aku percaya dengan artikel yang kaubaca. Sebaiknya aku akhiri percakapan ini. Kau harus menceritakan semuanya. Aku butuh kejujuranmu, Mas. Kutunggu di pantai besok sore. Jam empat!”
                Setelah mengatakan demikian, Anggun menutup sambungan teleponnya. Sedangkan lelaki itu meremas-remas rambutnya dan menengadah pada langit kelabu. Ia berjanji akan jujur pada kekasihnya. Besok!
***
                Alun- alun kota Tuban. Ada sorot sinar  dari beraneka warna lampu   pada bangunan -bangunan dan taman di sekitarnya, menjadikan alun-alun ini seolah bermandikan sinar dan cahaya. Ya, ornamen berbetuk  pilar-pilar  lengkap dengan tempat duduknya seolah menambah  pesona keindahanmya. Pada malam hari alun-alun ini sangat mempesona.
                Dimas masih duduk-duduk di taman ini dengan beberapa rekannya. Tak ada tujuan lain, sekadar melepas penat setelah seharian beraktivitas. Kawula muda hanya melakukan aktivitas kecil di malam hari. Menyeruput secangkir kopi dan bercakap-cakap mengenai diri mereka masing-masing.
                Dari arah yang berlawanan datang seorang gadis dengan linang air mata. Langkahnya begitu cepat dan pasti. Ia seolah sedang mencari mangsanya. Dan langkahnya terhenti tepat di depan Dimas.
                “Aku tak mau putus sama kamu,” gadis itu memulai perbincangan dengan nada kasar.
                “Sudahlah, apa yang kau inginkan lagi, hah? Aku sudah bukan pacarmu lagi,” ucap Dimas sembari berdiri dari duduknya. Gadis itu masih melotot dan ia berlari ke tengah jalan. Dimas mengejarnya dengan lari kecil.
                “Aku akan bunuh diri! Ya, aku akan bunuh diri sekarang juga jika kamu nggak mau balikan sama aku!” ancam gadis yang bernama Sri tepat di bahu jalan. Dimas menyeret lengan kanan Sri dengan amarah yang mulai terbakar.
                “Kamu sudah gila, hah?”
                “Ya, aku memang sudah gila, aku bahkan akan lebih gila dengan membawa masalah ini ke dukun,” ucap Sri dengan napas yang tersengal-sengal. Muka gadis itu mulai merah seperti udang yang baru saja direbus.
                “Tak akan kubiarkan kau memasuki kehidupanku lagi! Camkan itu!”
***
                Penerbangan siang ini berjalan cukup lancar. Meski cuaca sedikit berkabut, tetapi pesawat selamat sampai tujuan. Ranah yang baru saja dipijak Dimas, membawa lelaki itu kepada sosok gadis bernama Ina. Gadis asli Sampit. Dimas di sini hanya memenuhi tugas sebagai editor sebuah koran harian. Biasanya ia hanya mengerjakan tugasnya secara freelance. Namun beberapa kali kesempatan ia diharuskan masuk kantor.
                Bola pijar berwarna jingga itu masih berada tepat di atas kepala. Rupanya raja siang belum enggan bergeser. Beberapa anak kecil bermain-main dengan layang-layangnya di seberang jalan. Mereka seolah tak gentar dengan terik matahari yang membuat kulit semakin gelap.
                Angin dari arah timur menepis wajah Dimas. Lelaki itu bersandar pada kursi yang ada di depan beranda rumah kontrakannya. Ditatapnya layar ponsel yang berdering beberapa kali. Rupanya ada beberapa pesan yang belum ia buka. Pesan dari orang yang dicintainya. Ya, tepatnya salah satu orang yang dicintainya.
                From: Sri
                Mas, kamu sudah sampai, kan? Hati-hati di sana.
                Bibir lelaki itu hanya menyeringai ketika membaca pesan dari gadis bernama Sri. Sri merupakan kekasihnya yang kini sedang berada di Tuban. Sedangkan pikirannya kini telah terlempar jauh pada nama Ina. Seorang gadis yang telah lama menjalin hubungan dengannya. Sri dan Ina tidak pernah tahu bahwa mereka telah menjalin hubungan dengan lelaki yang sama. Bahkan kedua sahabat itu tak sedikit pun curiga dengan semua skenario yang dibuat Dimas.
                Malam hari Dimas menghabiskan waktu untuk menelepon Sri, sedangkan siang harinya ia bertemu dengan Ina di Sampit. Kesetiaan tak lagi dijunjungnya tinggi. Bahkan kini kesetiaan seolah bualan di mulut saja, sedangkan realitas yang disuguhkan jauh dari kata setia itu sendiri.
                ***
                “Lalu apalagi yang kau lakukan di masa lalumu, Mas?” tanya Anggun dengan suara parau. Gadis itu tak lagi dapat membendung air matanya. Semua kelu yang dipendamnya kini telah penuh dan siap meluber ke segala arah.
                “Hmm ... aku sudah menceritakan semuanya padamu, Nggun. Tapi ... semua itu masa lalu. Kini kita telah beranjak dewasa, sebuah frase yang tak dapat dipakai untuk main-main macam anak SMP atau SMA.”
                “Ya, semoga kau menepati janjimu itu, Mas,” ucap Anggun sembari melemparkan pandangannya pada gemulung ombak yang menghiasi senja. Kilauan sinar yang membias pada air laut seakan membuat hatinya tenang sejenak. Diambilnya napas panjang kemudian diembuskannya perlahan. Gadis itu sangat lihai dalam bersabar. Bahkan Dimas sendiri menyadari bahwa Anggun adalah sosok penyabar terbaik di dunia.
                “Maafkan aku, Anggun. Meski Sri masih mengirimi aku pesan, BBM, atau inboks di facebook aku sudah tak pernah menanggapinya. Hanya sesekali ... dan itu lantaran aku kasihan padanya,” kata Dimas dengan memegang jemari Anggun. Gadis itu masih belum bisa menatap lelaki yang ada di sampingnya. Ia hanya menumpahkan air mata sembari menatap ke arah laut dan langit.
                Sakit. Sebuah rasa yang tak dapat dipungkiri untuk menguliti semua kisah masa lalu Dimas. Anggun seolah menjadi korban dari pencakaran masa lalu Dimas. Meski kini tangan Anggun telah digenggam erat oleh Dimas, namun gadis itu masih ingin menuntaskan semua kelu yang menghunus hatinya. Teror Sri kepadanya membuat gadis itu merasa menjadi tersangka dalam akhir cerita.
                deru rindu dan semua rasa cintaku
                adalah candu yang membiru
                amsal angsoka yang merebak dalam kalbu
                terbakar api, sekejap lalu
                menjadi jelaga yang tak pernah tuntas
                melucutiku dan amblas!
                “Biarkan semua ini mengalir apa adanya, Mas. Bagai air yang turun dari gunung, ia akan menemukan muaranya dengan caranya sendiri. Sedangkan biarkan aku mengulum pilumu!”
***




0 komentar :

Posting Komentar