Rabu, 02 Maret 2016

MENCARI MUARA KASIH DALAM PUISI DIMAS ARIKA MIHARDJA (DAM)

JEJAK ITU, KEKASIH ….

jejak itu, kekasih
membekas di dada dan nyanyiannya menggema
menggemaskan!

pernah kutangkap dan kutangkup gelinjangnya,
luput dan larut dalam kopi hitam langit malam

jejak rindu itu berenang di secangkir kopi,
melambai-lambaikan tangan kasmaran
kupandangi saja, kurenangi kedalamannya

wangi kopi yang mengombakkan jejak rindu
dan aku turut merenangi waktu hingga subuh melepuh
dan mengaduh—mengadu kepada-Mu

jejak rindu itu masih lekat
di dinding hati, semakin berdegup
saat merinding menyebut nama-Mu
Kekasih

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Oktober 2014



Sajak dengan judul “Jejak Itu, Kekasih…” merupakan monolog si aku kepada kekasihnya. Parafrasenya sebagai berikut.
            Jejak rindu (kenangan yang membuat rindu) kepada kekasih (orang yang dicintai) masih membekas di dada, seolah jejak rindu itu berwujud nyanyian yang menggema, memadati diri si aku. Si aku selalu terngiang akan kenangan tersebut sehingga terus merindukannya, menginginkan perulangan peristiwa yang demikian.
            Si aku pernah mengingat kenangan mengesankan tersebut hingga si aku larut dalam waktu ketika melalui peristiwa-peristiwa mengesankan bersama kekasihnya itu. Bahkan mengingat peristiwa itu hingga waktu berganti malam, ketika si aku menyeruput kopi. Kopi adalah minuman yang sering bahkan setiap hari diminum oleh kaum lelaki, sehingga ia mengingat peristiwa mengesankan itu setiap hari hingga hari menunjukkan malam seperti seringnya si aku minum kopi.
            Jejak rindu (kenangan mengesankan) bersama kekasihnya itu terus diselami, terus diingatnya, dibayangkan seluruh peristiwa ketika si aku mengalami kasmaran kepada kekasihnya. Seolah kenangan itu melambai-lambaikan tangan, mengajak si aku terus dan terus mengingatnya. Kenangan itu tak mau pergi dalam pikiran dan batin si aku.
            Ketika si aku menghirup wangi aroma kopi, si aku selalu teringat kepada kenangan itu. Si aku menenggelamkan dirinya untuk terus merenangi waktu, setiap detik ketika bersama kekasihnya hingga tak disadarinya subuh tiba. Hingga si aku memutuskan untuk mengadu kepada Allah (Tuhan) dalam shalat subuhnya. Si aku mengutarakan semua ‘unek-unek’ kepada Tuhan, muara segala muara.
            Meski sudah mengadu kepada Tuhan, si aku terus teringat kenangan itu, bahkan kenangan itu lekat dalam hatinya. Si aku merasakan jejak rindu (kenangan) itu semakin lekat dan si aku merinding ketika menyebut nama Tuhannya. Tuhan diantropomorfkan, diwujudkan sebagai manusia, dikiaskan sebagai kekasih, adalah salah satu cara untuk membuat pathos, yaitu menimbulkan simpati dan empati kepada pembaca hingga ia bersatu mesra dengan objeknya (Budi Darma, 1982:112), hingga pembaca dapat turut merasakan yang dirasakan penyairnya. Begitu juga pengiasan-pengiasan lain untuk menimbulkan pathos kelihatan dalam sajak itu, seperti berikut.
            Metafora: ‘jejak itu, kekasih’. Di sini kenangan dikiaskan sebagai jejak yang membekas di dada dengan demikian kenangan itu tak bisa dilupakan.
pernah kutangkap dan kutangkup gelinjangnya,
luput dan larut dalam kopi hitam langit malam

            Kenangan luput dan larut  dalam kopi hitam langit malam, selain gambaran terang juga memperjelas gambaran si aku tiada henti mengenang peristiwa indah bersama kekasihnya.
            Begitu pula kombinasi personifikasi: ‘melambai-lambaikan tangan kasmaran’, seperti mengajak si aku untuk tidak beranjak pergi. Memanggil si aku untuk terus mengenang peristiwa itu.
                Metafora ‘subuh melepuh’ mengiaskan si aku sampai tak sadar akan waktu yang terus berjalan hingga subuh tiba pun si aku tidak menyadarinya.
                Dalam sajak “Jejak Itu, Kekasih ….” Secara struktural dipergunakan sarana kepuitisan untuk mendapatkan dan memperkuat efek secara bersama-sama. Dalam sajak ini dipergunakan kepuitisan diantaranya kiasan seperti yang telah terurai di atas dan dikombinasikan corak kosa kata, citraan, sarana retorika, dan keselarasan bunyi yang semuanya. Perulangan bunyi seperti: vocal u-u member efek semakin rindu, sedangkan aliterasi t-t menambah intensitas arti larut itu.  Begitu juga: luput dan larut dalam kopi hitam langit malam (bait 2), adanya vokal I dan aliterasi t-m membuat liris, begitu pula dalam: dan mengaduh—mengadu kepada-Mu.
                Citraan dalam sajak “Jejak Itu, Kekasih ….” dipergunakan untuk membuat gambaran segar dan hidup, digunakan sepenuhnya untuk memperkaya dan memperkuat.
                Citraan pendengaran (sound image), jejak itu, kekasih/membekas di dada dan nyanyiannya menggema/menggemaskan!; pendengaran itu ditandai dengan bunyi a, seolah terdengar nyanyiannya menggema. Citraan yang sama terdapat juga pada larik: jejak rindu itu masih lekat/di dinding hati, semakin berdegup. Pendengaran atau suara ditandai dengan bunyi p, seolah terdengar semakin berdegup dalam dinding hati.
                Citraan gerak (kinaesthetik image): jejak rindu itu berenang di secangkir kopi,/melambai-lambaikan tangan kasmaran; gerak itu ditandai dengan bunyi g diperkuat bunyi n, seolah jejak rindu berenang dan melambaikan tangan mengiaskan kenangan yang tak bisa hilang dalam ingatan.
                Citra rabaan (tacktile/thermal image) dipergunakan dalam: pernah kutangkap dan kutangkup gelinjangnya, (bait 2).
                Ternyatalah dari analisis di atas bahwa sarana-sarana kepuitisan bahasa “Jejak Itu, Kekasih ….” Sangat kompleks, jalin-menjalin membentuk jaringan efek yang kaya, memberikan gambaran yang hidup dan segar.


***

0 komentar :

Posting Komentar