Selasa, 21 Mei 2019

Ramadan yang Dulu Bukanlah yang Sekarang, Lalu Apa Bedanya?



Sudah berbuka puasa malam ini? Alhamdulillah buat yang sudah. Nah, malam ini saya sedikit memasuki labirin-labirin waktu yang sudah berlalu. Bulan Puasa tahun lalu, dan tahun-tahun sebelumnya. Saat itulah menyimpan kenangan Ramadan berkesan dan tak terlupakan. Mungkin agak melankolis tulisan saya malam ini.

Bulan Ramadan merupakan saat yang ditunggu-tunggu. Apalagi dulu, saat saya masih di bangku sekolah. Saya akan merindukan masakan untuk buka puasa yang berbeda dengan masakan harian, rindu dengan patrol anak-anak desa untuk membangunkan sahur, rindu dengan sahur bersama keluarga, rindu mengejar Deadline saat sahur. Ah, mungkin masa-masa itu ngetren di zamannya (zaman saya masih sekolah) dan sekarang semuanya berbeda.

Melibas Semua Jenis Lomba Menulis

Ramadan tahun 2014 hingga 2016 merupakan saat-saat saya sangat produktif menulis fiksi. Ya, sekarang memang produktif karena memang sudah jadi pekerjaan. Tapi, dulu itu berbeda. Saya memanfaatkan waktu Ramadan tidak hanya untuk beribadah tapi juga berkarya. Apalagi saat sahur merupakan waktu paling nyaman dan enak untuk menulis.

Meski dulu saya sekolah full day, tapi saya bisa menghasilkan banyak tulisan. Mulai ikut antologi di penerbit-penerbit indie (hingga saat ini ada sekitar 200 antologi). Selain itu saya juga mengurus penerbit saya sendiri (layout, editing, desain, dsb). Tak hanya itu, saya juga masih bisa mengikuti kelas-kelas menulis yang diadakan di grup Facebook.

Saya masih ingat, dulu masih ada Cerpen Berantai, Puisi Berantai, hingga Cerpen Duet. Semua ajang menulis yang melibatkan banyak kepala. Apalagi kelompok saya berasal dari pulau-pulau yang berbeda. Sehingga tak jarang waktu pun tidak sama, ada yang lebih cepat dan lebih lambat. Menariknya, kami kompak bangun sahur jam X misalnya, kemudian mengerjakan tugas cerpen berantai tersebut hingga menjelang subuh.

Sungguh sangat mengasyikkan, padahal dulu hadiahnya hanya pulsa atau buku. Tapi, semangat saya tak padam oleh waktu *ehem*. Tak hanya sampai di situ, saya juga ikutan tantangan 30 Hari Menulis Puisi yang diadakan Grup/Penerbit PEDAS milik Bunda Icha. Mungkin kalian yang baca salah satu member di sana? Hm, mari kita bernostalgia.

Selain di sana, dulu saya juga cukup aktif di Grup Kobimo, Cendol, dan Panchake (yang ini masih ada sampai sekarang, grupnya penulis horor). Saya banyak belajar dari para member di sana dan banyak semangat yang saya serap sehingga tak heran saat Ramadan adalah saat paket-paket banyak singgah di rumah.

Pengakuan Passion sebagai Penulis

Di bulan Ramadan itu juga passion saya diakui oleh Ibu. Dulunya, saya sangat ditentang menulis. “Menulis dapat apa? Menulis buat apa? Menulis pekerjaan yang tak berguna! Menulis ya gitu-gitu aja, blablabla...” Pokoknya masih banyak omelan Ibu saya.

Tapi, karena bulan Ramadan saya rajin mengikuti lomba dan menang maka banyak sekali hadiah yang didapat. Tidak hanya uang dan piala, tapi juga sertifikat, buku terbit, kerudung, mug cantik, payung, pulsa, dan lain-lain. Oleh karenanya, kenangan Ramadan berkesan ini tak terlupakan buat saya pribadi.

Meski kenangan Ramadan dulu sangat berkesan, tapi Ramadan yang sekarang pun cukup bersyukur karena bisa menjadi blogger selain menulis fiksi. Mungkin saya dulu lebih semangat menulis fiksi dan sekarang agak kendor. Memang menjadi pengingat buat diri sendiri kalau fiksi dan nonfiksi harus seimbang. Biar enggak seperti skripsi yang dibilang puitis sama dospem *haha*.

Nah, mungkin cerita secuil ini bisa menginspirasi temen-temen semua yang ingin jadi penulis. Hikmah yang dipetik adalah *jeng jeng* intinya harus konsisten ya, Penulis itu bukan mie instan yang direbus 5 menit bisa mateng. So, semangat buat temen-temen semua di bulan Ramadan ini. Isi dengan hal-hal positif biar jadi berkesan. Kalau pengalaman Ramadan yang berkesan kamu apa? Share yuk!



0 komentar :

Posting Komentar