Mata
lelaki itu mulai sayu. Tersirat sejuta kesenduan dalam dirinya. Hujan yang
sedari tadi mengguyur ranah kelahirannya itu tak lagi menyisakan kembang tawa
di bibirnya. Kelebat wajah gadis itu masih malang melintang dalam benaknya.
Ingin rasanya ia membebaskan diri dari semua jerat yang tengah mengujinya.
Sebuah kebimbangan dan rasa terpukul selalu menghantuinya, seolah hantu yang
meneror si pembunuhnya.
Jarum jam masih berputar. Pukul
empat sore. Sedangkan mata lelaki itu tak henti menatap layar ponselnya yang
kini masih padam. Tak ada sebuah pesan maupun telepon dari siapa pun.
Ia menyibukkan diri dengan
membuka sosial media. Hanya sekadar menurunkan kadar frustasi yang mencabiknya.
Seketika itu ponselnya berdering. Sebuah panggilan masuk dari seseorang mampu
membuat matanya terbelalak dan jantungnya berdebar kencang. Ada rasa canggung
untuk mengangkat telepon tersebut. Dengan keberanian yang tinggal sepersen
saja, ia mengangkat telepon dengan nada gemetar.
“Ya, halo.”
“Ceritakan padaku kejadian yang
sebenarnya, Mas. Apa gunanya kamu mengelak semua pertanyaan-pertanyaanku
kemarin?” suara itu terasa menohoknya seketika.
“Apa yang perlu kujelaskan lagi,
Anggun?” jawab lelaki itu dengan mata yang berkaca-kaca. Ia terasa membuat
lubang luka baru dalam diri gadis yang kini sedang berbicara di seberang sana.
“Ya, semuanya. Tentang mantanmu
itu. Mbak Sri, atau siapalah namanya. Jujur, Mas aku tidak marah padamu, namun
penjelasanmu yang tak pernah tuntas seolah membuatku terjatuh pada luka yang
tak kunjung sembuh,” timpal gadis yang bernama Anggun itu sembari sesegukan
menahan tangis.
“Aku mengerti. Seperti artikel
yang biasa kubaca. Jika seorang lelaki masih mengingat mantannya sedangkan ia
sudah punya kekasih, maka sama saja ia tak mencintai kekasihnya itu,” jelas
lelaki itu dengan nada datar.
Suasana menjadi hening. Anggun
belum menanggapi perkataan lelaki itu. Ia seolah tengah mencerna setiap kata
yang meluncur dari bibir kekasihnya dan tak ingin berdebat lebih panjang lagi.
“Ya, tujuh puluh lima persen hal
itu benar, Mas. Dan aku percaya dengan artikel yang kaubaca. Sebaiknya aku
akhiri percakapan ini. Kau harus menceritakan semuanya. Aku butuh kejujuranmu,
Mas. Kutunggu di pantai besok sore. Jam empat!”
Setelah mengatakan demikian,
Anggun menutup sambungan teleponnya. Sedangkan lelaki itu meremas-remas
rambutnya dan menengadah pada langit kelabu. Ia berjanji akan jujur pada
kekasihnya. Besok!
***
Alun- alun kota Tuban. Ada sorot
sinar dari beraneka warna lampu pada bangunan -bangunan
dan taman di sekitarnya, menjadikan alun-alun ini seolah bermandikan sinar dan
cahaya. Ya, ornamen
berbetuk pilar-pilar
lengkap dengan tempat duduknya seolah menambah pesona keindahanmya.
Pada malam hari alun-alun ini sangat mempesona.
Dimas masih duduk-duduk di taman
ini dengan beberapa rekannya. Tak ada tujuan lain, sekadar melepas penat
setelah seharian beraktivitas. Kawula muda hanya melakukan aktivitas kecil di
malam hari. Menyeruput secangkir kopi dan bercakap-cakap mengenai diri mereka
masing-masing.
Dari arah yang berlawanan datang
seorang gadis dengan linang air mata. Langkahnya begitu cepat dan pasti. Ia
seolah sedang mencari mangsanya. Dan langkahnya terhenti tepat di depan Dimas.
“Aku tak mau putus sama kamu,”
gadis itu memulai perbincangan dengan nada kasar.
“Sudahlah, apa yang kau inginkan
lagi, hah? Aku sudah bukan pacarmu lagi,” ucap Dimas sembari berdiri dari
duduknya. Gadis itu masih melotot dan ia berlari ke tengah jalan. Dimas
mengejarnya dengan lari kecil.
“Aku akan bunuh diri! Ya, aku
akan bunuh diri sekarang juga jika kamu nggak mau balikan sama aku!” ancam
gadis yang bernama Sri tepat di bahu jalan. Dimas menyeret lengan kanan Sri
dengan amarah yang mulai terbakar.
“Kamu sudah gila, hah?”
“Ya, aku memang sudah gila, aku
bahkan akan lebih gila dengan membawa masalah ini ke dukun,” ucap Sri dengan
napas yang tersengal-sengal. Muka gadis itu mulai merah seperti udang yang baru
saja direbus.
“Tak akan kubiarkan kau memasuki
kehidupanku lagi! Camkan itu!”
***
Penerbangan siang ini berjalan
cukup lancar. Meski cuaca sedikit berkabut, tetapi pesawat selamat sampai
tujuan. Ranah yang baru saja dipijak Dimas, membawa lelaki itu kepada sosok
gadis bernama Ina. Gadis asli Sampit. Dimas di sini hanya memenuhi tugas
sebagai editor sebuah koran harian. Biasanya ia hanya mengerjakan tugasnya
secara freelance. Namun beberapa kali
kesempatan ia diharuskan masuk kantor.
Bola pijar berwarna jingga itu
masih berada tepat di atas kepala. Rupanya raja siang belum enggan bergeser.
Beberapa anak kecil bermain-main dengan layang-layangnya di seberang jalan.
Mereka seolah tak gentar dengan terik matahari yang membuat kulit semakin
gelap.
Angin dari arah timur menepis
wajah Dimas. Lelaki itu bersandar pada kursi yang ada di depan beranda rumah
kontrakannya. Ditatapnya layar ponsel yang berdering beberapa kali. Rupanya ada
beberapa pesan yang belum ia buka. Pesan dari orang yang dicintainya. Ya, tepatnya
salah satu orang yang dicintainya.
From: Sri
Mas, kamu sudah sampai, kan? Hati-hati di sana.
Bibir lelaki itu hanya
menyeringai ketika membaca pesan dari gadis bernama Sri. Sri merupakan
kekasihnya yang kini sedang berada di Tuban. Sedangkan pikirannya kini telah
terlempar jauh pada nama Ina. Seorang gadis yang telah lama menjalin hubungan
dengannya. Sri dan Ina tidak pernah tahu bahwa mereka telah menjalin hubungan
dengan lelaki yang sama. Bahkan kedua sahabat itu tak sedikit pun curiga dengan
semua skenario yang dibuat Dimas.
Malam hari Dimas menghabiskan
waktu untuk menelepon Sri, sedangkan siang harinya ia bertemu dengan Ina di
Sampit. Kesetiaan tak lagi dijunjungnya tinggi. Bahkan kini kesetiaan seolah
bualan di mulut saja, sedangkan realitas yang disuguhkan jauh dari kata setia
itu sendiri.
***
“Lalu apalagi yang kau lakukan
di masa lalumu, Mas?” tanya Anggun dengan suara parau. Gadis itu tak lagi dapat
membendung air matanya. Semua kelu yang dipendamnya kini telah penuh dan siap
meluber ke segala arah.
“Hmm ... aku sudah menceritakan
semuanya padamu, Nggun. Tapi ... semua itu masa lalu. Kini kita telah beranjak
dewasa, sebuah frase yang tak dapat dipakai untuk main-main macam anak SMP atau
SMA.”
“Ya, semoga kau menepati janjimu
itu, Mas,” ucap Anggun sembari melemparkan pandangannya pada gemulung ombak
yang menghiasi senja. Kilauan sinar yang membias pada air laut seakan membuat
hatinya tenang sejenak. Diambilnya napas panjang kemudian diembuskannya
perlahan. Gadis itu sangat lihai dalam bersabar. Bahkan Dimas sendiri menyadari
bahwa Anggun adalah sosok penyabar terbaik di dunia.
“Maafkan aku, Anggun. Meski Sri
masih mengirimi aku pesan, BBM, atau inboks di facebook aku sudah tak pernah menanggapinya. Hanya sesekali ... dan
itu lantaran aku kasihan padanya,” kata Dimas dengan memegang jemari Anggun.
Gadis itu masih belum bisa menatap lelaki yang ada di sampingnya. Ia hanya
menumpahkan air mata sembari menatap ke arah laut dan langit.
Sakit. Sebuah rasa yang tak
dapat dipungkiri untuk menguliti semua kisah masa lalu Dimas. Anggun seolah
menjadi korban dari pencakaran masa lalu Dimas. Meski kini tangan Anggun telah
digenggam erat oleh Dimas, namun gadis itu masih ingin menuntaskan semua kelu
yang menghunus hatinya. Teror Sri kepadanya membuat gadis itu merasa menjadi
tersangka dalam akhir cerita.
deru rindu dan semua rasa cintaku
adalah
candu yang membiru
amsal
angsoka yang merebak dalam kalbu
terbakar
api, sekejap lalu
menjadi
jelaga yang tak pernah tuntas
melucutiku
dan amblas!
“Biarkan semua ini mengalir apa
adanya, Mas. Bagai air yang turun dari gunung, ia akan menemukan muaranya
dengan caranya sendiri. Sedangkan biarkan aku mengulum pilumu!”
***
0 komentar :
Posting Komentar