Kamis, 03 Juni 2021

Kusta Bukan Kutukan, Begini Cara Penanganan yang Tepat!

 


“Pengidap kusta harus dikucilkan?”

Sebuah stigma yang berkembang di masyarakat sampai saat ini dan bahkan saya pun pernah menemuinya. Pernah salah satu tetangga mengidap penyakit kusta dan secara otomatis lingkungan seakan menolak keberadaannya. Padahal, mereka pun butuh dukungan dari lingkungan untuk semangat sembuh.

Barangkali minimnya wawasan tentang penyakit kusta inilah yang membuat masyarakat masih takut jika penyakit ini seketika menular pada diri mereka dan keluarga. 

Tak bisa dipungkiri di beberapa wilayah di Indonesia lainnya juga masih banyak kasus disabilitas yang disebabkan penyakit Kusta. Sehingga tingkat diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas masih cukup tinggi. 

Apa Itu Penyakit Kusta?


Penyakit Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, kemudian menyerang kulit, mukosa (mulut) saluran pernapasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Perlu diketahui, kusta bukanlah penyakit kutukan atau guna-guna. Pengobatan yang tepat akan membuat penderitanya sembuh total dan bisa kembali hidup normal.

"Kusta adalah penyakit keturunan"

Centers for Disease Control and Prevention (CDC), menyatakan bahwa 95 persen orang tubuhnya mampu melawan bakteri penyebab kusta sehingga tak menyebabkan penyakit ini muncul. Berbeda dengan intensitas yang dilakukan oleh keluarga setiap harinya.

Ciri-Ciri Penyakit Kusta


Penyakit kusta ini hampir mirip dengan COVID-19, sama-sama bisa menular melalui sentuhan kulit maupun droplet, serta sama-sama menyerang sistem imun kita. Biar lebih jelas berikut rangkuman ciri-ciri penyakit kusta:

  1. Kulit mati rasa. Kulit kehilangan kemampuan dalam merasakan suhu, sentuhan, tekanan, dan rasa sakit
  2. Muncul lesi pucat yang berwarna lebih terang dan menebal di kulit
  3. Ada bercak putih yang dikira panu. Kalau bercak putihnya terasa gatal, berarti itu panu. Tapi kalau bercak putihnya tidak terasa apa-apa, maka itu kusta
  4. Muncul luka tapi tidak terasa sakit
  5. Pembesaran saraf yang biasanya terjadi di siku dan lutut
  6. Otot melemah, terutama otot kaki dan tangan
  7. Kehilangan alis dan bulu mata
  8. Mata menjadi kering dan jarang mengedip
  9. Luka di tangan atau kaki bisa menyebabkan hilangnya jari tangan atau jari kaki
  10. tidak bisa sembuh dengan minum obat kulit biasa

Mengapa Kusta Masuk Kategori Disabilitas?

sumber gambar: Halodoc

Perlu diketahui, penyandang disabilitas merupakan orang yang memiliki keterbatasan  fisik, intelektual, mental, maupun sensorik dalam jangka panjang. Ketika ia berhadapan dengan berbagai hambatan, penyakit ini menyulitkannya untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat berdasarkan persamaan hak.

Kusta menyerang tubuh secara perlahan. Penyakit ini menyerang sistem saraf dan imun manusia. Jika imun dalam keadaan lemah, maka bakteri akan berkembang dengan baik. Kondisi ini pun bisa berdampak pada kerusakan saraf.

Penderita kusta menjadi kebal terhadap nyeri karena sarafnya rusak. Sehingga mereka mengalami kehilangan sensasi sentuhan dan rasa sakit pada kulit. Jadi mereka tidak merasakan sakit meskipun jari mereka copot.

Karena tidak merasakan sakit, penderita kusta tidak merasakan saat jarinya diserap oleh jaringan tubuhnya sehingga tampak memendek. Kondisi cacat yang dialami penderita kusta menyebabkan disabilitas sehingga mereka tidak dapat beraktivitas seperti orang normal karena kecacatannya baik di tangan, kaki, maupun mata.

Selain disabilitas pada fisik penderita/ yang terdampak kusta yang  masih stigma di masyarakat tambah memperparah penderitaan seorang penderita kusta.

Cara Mengobati Kusta

Informasi mengenai kusta dan disabilitas banyak saya dapatkan dari Webinar di Channel Youtube KBR. Saya merasa sedang mengikuti kuliah umum dengan topik bahasan Geliat Pemberantasan Kusta dan Pembangunan Inklusif  Disabilitas di Tengah Pandemi.  

Dalam webinar tersebut, singkatnya cara mengatasi kusta yakni dengan menekan tumbuhnya bakteri penyebab kusta dan mengerti ciri-ciri penyakit itu sendiri. Maka, kita seharusnya melakukan identifikasi sendiri sejak dini.

Kalau merasakan ciri-ciri kusta telah timbul di tubuh kita, maka langkah selanjutnya yaitu datang ke layanan medis terdekat untuk memeriksakan diri lebih lanjut. Jika diidentifikasi menderita kusta, maka dokter akan memberikan penanganan melalui obat-obatan dan tindakan pembedahan. Pembedahan ini bertujuan untuk:

  • Menormalkan fungsi saraf yang rusak
  • Memperbaiki bentuk tubuh pengidap yang cacat
  • Mengembalikan fungsi anggota tubuh

Cara Penanganan Kusta Saat Pandemi

saat menyimak webinar KBR

Sama halnya yang dilakukan oleh Komarudin, S.Sos.M.Kes sebagai Wasor Kusta Kab Bone dan DR. Rohman Budijanto SH MH sebagai Direktur Eksekutif The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi-JPIP Lembaga Nirlaba Jawa Pos yang bergerak di bidang otonomi daerah pada acara webinar ruang publik yang diselenggarakan oleh NLR dan Berita KBR. 

Para petugas dan warga Kabupaten Bone sadar mengenai berbahayanya penyakit kusta dan COVID-19. Menariknya, mereka mengusung slogan “ya tutu ya upe’ ya ya capa’ ya cilaka” yang artinya adalah yang berhati-hatilah yang beruntung (selamat) dan yang lalai yang bakal celaka.

Para petugas kesehatan Kabupaten Bone akan datang ke rumah-rumah untuk mendeteksi gejala penyakit kusta yang mungkin diderita warga. Mereka menerapkan program RGO, yaitu Rendam, Gosok, Oles.

Maksud dari RGO yakni rendam kaki selama 20 menit di air dingin, gosok secara lembut dan perlahan di bagian tubuh yang menebal atau apakah ada luka, lalu oleskan dengan minyak pada jari tangan dan kaki untuk mencegah kulit kering dan pecah-pecah.

Jika warga memiliki ciri-ciri terkena kusta, maka mereka akan dibawa ke puskesmas untuk menjalani pengobatan sesuai prosedur.

Jadi, pandemi tidak menghalangi para petugas kesehatan untuk memberantas kusta. Hal ini terbukti bahwa angka prevalensi penyakit kusta di Kabupaten Bone mengalami penurunan yang signifikan. 

Sebelum pandemi terdapat 2,5 penderita per 10.000 penduduk, kini di masa pandemi tinggal 1,7 penderita per 10.000 penduduk. Ternyata pandemi tidak menghalangi penurunan jumlah penyandang kusta.

Lalu bagaimana cara membantu penyandang disabilitas?

  • Harus ada strategi khusus untuk berkembangnya inklusif disabilitas, yaitu: peningkatan kapasitas kerja bagi disabilitas.
  • Melakukan kampanye program dan perekrutan angkatan kerja tetap. 
  • Peningkatan dan pelatihan kesiapan kerja bagi angkatan kerja disabilitas.
  • Perluasan kesempatan kerja pada perusahaan dan penempatan kerja disabilitas.
  • Adanya peluang angkatan kerja disabilitas untuk memasuki dunia kerja atau mengikuti peluang peningkatan kapasitas lain. 

Dukungan menjadi hal paling berharga dan bisa membantu para Orang Penyandang Kusta untuk tetap optimis dan semangat dalam menjalani hidup.

Kalau bukan kita yang peduli, siapa lagi? Di sekitarmu apakah pernah juga ada yang mengidap kusta? Sharing di kolom komentar yuk!