Sejarah
Sebagai istilah ilmiah, Hermeneutika diperkenalkan pertama kali sejak munculnya buku dasar-dasar
logika,Peri Hermeneias karya Aristoteles. Sejak saat itu pula konsep logika dan penggunaan rasionalitas diperkenalkan sebagai dasar tindakan hermeneutis.
Konsep ini terbawa pada tradisi beberapa
agama ketika memasuki abad pertengahan (medieval age).[3] Hermeneutika diartikan sebagai tindakan memahami pesan yang disampaikan Tuhan dalam kitab suci-Nya secara rasional. [1] Dalam tradisi kristen, sejak abad 3 M , gereja yang kental dengan tradisi paripatetik menggunakan konsep tawaran Aristoteles ini untuk menginterpretasikan al-kitab.[3] Sedangkan dalam tradisi filsafat Islam, ulama kalam menggunakan istilah Takwil sebagai ganti dari hermeneutika, untuk menjelaskan ayat-ayat Mutasyabbihat.[4]
Ketika
Eropa memasuki masa pencerahan([rennaisance]),
dari akhir abad 18 M sampai awal 19 M, kajian-kajian hermeneutika yang
dilakukan pada abad pertengahan dinilai tidak berbeda sama sekali dengan
upaya para ahli Filologi Klasik.[1]Empat tingkatan interpretasi yang berkembang di abad pertengahan, yaitu, literal eksegesis, allegoris eksegesis, tropologikal eksegegis, dan eskatologis eksegesis, direduksi menjadi Literal dan gramatikal eksegesis . Pemahaman ini diawali oleh seorang ahli Filologi bernama Ernesti pada tahun 1761, dan terus dikembangkan oleh Friederich August dan Friederich Ast.[1]
Hermeneutika kemudian keluar dari disiplin filologi bahkan melampaui
maksud dari empat tingkatan interpretasi abad pertengahan ketika
Schleiermacher
menyatakan bahwa proses interpretasi jauh lebih umum dari sekedar
mencari makna dari sebuah teks. Ia kemudian menjadikan hermeneutika
sebuah disiplin filsafat yang baru. Hal tersebut disetujui dan dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey di ujung abad 19 M. Ia memadukan konsep sejarah dan filsafat serta menjauhi dogma metafisika untuk melahirkan pemahaman yang baru terhadap Hermeneutika.
Ia kemudian memahami bahwa proses hermeneutika adalah sesuatu yang
menyejarah, sehingga harus terus-menerus berproses di setiap generasi. Walaupun melahirkan pemahaman yang tumpang-tindih, hubungan keilmuan yang dinamis akan sangat berperan untuk menyatukan kembali pemahaman dalam sudut pandang yang bersifat obyektif
hal yang perlu diperhatikan dalam menginterpretasi
Abad 20 M, ditandai sebagai era
post-modern dalam sejarah filsafat barat, fenomenologi lahir sebagai paham baru yang merambah dunia hermeneutika. Adalah Martin Heidegger, yang mengatakan bahwa proses Hermeneutis merupakan proses pengungkapan jati diri dan permasalahan eksistensi manusia yang sesungguhnya. Usahanya mendapat respon postif dari Hans-Georg Gadamer yang kemudian memadukan Hermeneutika Heidegger dengan konsep estetika.[1]Keduanya sama-sama sepakat bahwa Yang-Ada berusaha menunjukkan dirinya sendiri melalui tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manusia, terutama bahasa.
Hermeneutika di akhir abad 20 M mengalami pembaharuan pembahasan ketika
Paul Ricoeur memperkenalkan teorinya.
Ia kembali mendefinisikan Hermeneutika sebagai cara menginterpretasi
teks, hanya saja, cara cakupan teks lebih luas dari yang dimaksudkan
oleh para cendikiawan abad pertengahan maupun modern dan sedikit lebih sempit jika dibandingkan dengan yang dimaksudkan oleh Heidegger. Teks yang dikaji dalam hermeneutik Ricoeur bisa berupa teks baku sebagaimana umumnya, bisa berupa simbol, maupun mitos. Tujuannya sangat sederhana, yaitu memahami realitas yang sesungguhnya di balik keberadaan teks tersebut.
Sumber: Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.htm
I. Pengertian Hermeneutika
Kata “hermeneutika”, dalam bahasa Indonesianya yang kita kenal, secara etimologi berasal dari istilah Yunani, dari kata kerja
hermeneuein, yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda
hermeneia, “interpretasi.
Dari asal kata itu berarti ada dua perbuatan; menafsirkan dan hasilnya,
penafsiran (interpretasi), seperti halnya kata kerja “memukul” dan
menghasilkan “pukulan”. Kata tersebut layaknya kata-kata kerja dan kata
bendanya dalam semua bahasa. Kata Yunani
hermeios mengacu pada seorang pendeta bijak, Delphic. Kata
hermeios dan kata kerja yang lebih umum
hermeneuein dan kata benda
hermeneia diasosiasikan pada Dewa Hermes, dari sanalah kata itu berasal.
Dewa Hermes mempunyai kewajiban untuk menyampaikan pesan (wahyu) dari
Jupiter kepada manusia. Dewa Hermes bertugas untuk menerjemahkan pesan
Tuhan dari gunung Olympuske dalam bahasa yang dimengerti oleh manusia.
Jadi hermeneutika ditujukan kepada suatu proses mengubah sesuatu atau
situasi yang tidak bisa dimengerti sehingga dapat dimengerti (
Richard E. Palmer). Ada tiga komponen dalam proses tersebut;
mengungkapkan, menjelaskan, dan menerjemahkan.
Filsafat Yunani kuno sudah memberikan sinyal mengenai “interpretasi”. Dalam karyanya
Peri Hermeneias atau De Interpretatione,
Plato menyatakan “kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman
mental kita dan kata yang kita tulis adalah simbol dari kata yang kita
ucapkan”. Sehingga dalam memahami sesuatu perlu adanya usaha khusus,
karena apa yang kita tafsirkan telah dilingkupi oleh simbol-simbol yang
menghalangi pemahaman kita terhadap makna.
Dalam terminologi, hermeneutika banyak didefinisikan oleh para ahli.
Mereka (para ahli) memiliki definisinya masing-masing. F D. Ernest
Schleirmacher mendefinisikan hermeneutika sebaga seni memahami dan
menguasai, sehingga yang diharapkan adalah bahwa pembaca lebih memahami
diri pengarang dari pada pengarangnya sendiri dan juga lebih memahami
karyanya dari pada pengarang. Fredrich August Wolf mendefinisikan,
hermeneutika adalah pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang membantu
untuk memahami makna tanda-tanda. Sedangkan menurut Martin Heidegger dan
Hans George Gadamer bahwa hermeneutika adalah proses yang bertujuan
untuk menjelaskan hakikat dari pemahaman.
Hermeneutika juga bisa dikatakan sebagai cabang dari filsafat dengan
adanya perubahan dari “metafisika menjadi hermeneutika”. Hal ini
terlihat dari sebuah kritik epistimologi Immanuel Kant. Kritik tersebut
ditujukan atas metafisika. Dalam bukunya
“Critique of Pure Reason”,
Kant mengecam metafisika yang telah berumur lebih seribu tahun yang
digunakan untuk memperoleh pengetahuan. Menurutnya metafisika hanya
melahirkan pengetahuan yang subjektif. Pengetahuan itu dihasilkan atas
dasar otoritas suatu konsep berpikir yang menghasilkan ide. Ia
menawarkan sebuah terobosan metafisika baru yang berupa hermeneutika.
Dengan konsep
Logic of Transcendental, bahwa pikiran kita
mengumpulkan pengetahuan-pengetahuan yang akhirnya apabila pikiran kita
akan memproses suatu pengetahuan maka pengetahuan-pengetahuan yang
dikumpulkan oleh pikiran kita akan ikut memproses pengetahuan baru,
sehingga hasilnya tidak subjektif melainkan lebih objektif.
Sumber: PENGERTIAN DAN ASAL-USUL HERMENEUTIKA SEBUAH PERTIMBANGAN _ sofyan effendi.htm