PENDEKATAN APRESIASI SASTRA
Pendekatan
apresiasi sastra merupakan kerangka berpikir dalam melakukan kegiatan
apresiasi. Kegiatan berpikir itu bisa berupa menikmati sastra, menilai
sastra bahkan mengindetifikasi sastra. Ini sejalan dengan pendapat Prof.
A. Teew (dalam Atar Sani, 1985:41) bahwa identifikasi sastra berbeda
menurut pendekatan, misalnya:
a. struktur karya sastra
b. makna atau pesan karya sastra
c. ekspresi pengarang
d. himbauan, inpresi, resepsi pembaca
Sementara
itu kegiatan berpikir yang mengacu kepada bagaimana menikmati dan
menilai karya sastra tentunya berkaitan dengan kegiatan apresiasi. Untuk melakukan kegiatan tersebut ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan.
A. Pendekatan yang Berdasarkan Tujuan Mengapresiasi
Pendekatan yang berdasarkan tujuan mengapresiasi mencakup beberapa pendekatan, yaitu :
1. Pendekatan Parafrase
Pendekatan
parafrase merupakan salah satu pendekatan yang dipakai apresiator dalam
mengapresiasi karya sastra denga cara melakukan pembedahan pada karya
sastra tersebut melalui penambahan kata, kelompok kata dan kalimat. Bahkan
pada metode ini bisa mengubah bentuk karya sastra, dan yang utama
substansi dari karya tersebut tidak berubah. Menurut Abd Khalik Sani
(2006:6) bahwa pendekatan parafrase adalah strategi pemahaman kandungan
makna dalam suatu cipta sastra dengan jalan mengungkapkan kembali
gagasan yagn disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata maupun
kalimat yang berbeda dengan kata-kata dan kalimat yang digunakan
pengarangnya. Tujuan akhir dari penggunaan pendekatan ini adalah untuk
menyederhanakan pemakaian kata atau kalimat seorang pengarang sehingga
pembaca lebih mudah memahami kandungan makna yang terdapat dalam suatu
cipta sastra.
Penggunaan
metode ini dimaksudkan untuk menyederhanakan kata-kata (khususnya
puisi) yang padat bahasa sehingga mudah dipahami. Berikut contoh puisi
dan parafrasenya.
KARANGAN BUNGA KARANGAN BUNGA
Tiga anak kecil parafrase Ada tiga anak yang masih kecil
Dalam langkah malu-malu Dalam langkah yang malu-malu
Datang ke Salemba Datang ke pekuburan Salemba
Sore itu Sore itu
Aplikasi
pendekatan parafrase pada puisi di atas dapat juga dilakukan sehingga
memudahkan pengungkapan isi puisi tersebut. Prinsip dasar dari aplikasi
pendekatan paraforse pada hakikatnya beranjak dari pemikiran bahwa:
1. Gagasan yang sama dapat disampaikan lewat bentuk yang berbeda;
2. Simbol-simbol
yang bersifat konotatif dalam suatu cipta sastra dapat diganti dengan
lambang atau bentuk lain yang tidak mengandung keterpaksaan makna;
3. Kalimat-kalimat atau basis dalam suatu cipta sastra yang mengalami pelepasan dapat dikembalikan lagi kepada bentuk dasarnya;
4. Pengubahan
suatu cipta sastra baik dalam hal kata maupun kalimat yang semula
simbolik dan eliptis menjadi suatu bentuk kebahasan yang tidak lagi
konotatif akan mempermudah upaya seseorang untuk memahami kandungan
makna dalam suatu bacaan; dan
5. Pengungkapan kembali suatu gagasan yang sama dengan menggunakan media atau bentuk yang tidak sama oleh seorang pembaca.
2. Pendekatan Emotif
Pendekatan
emotif adalah pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang
mengacu kepada emosi atau perasaan pembaca. Emosi atau perasaan dapat
berhubungan dengan keindahan penyajian bentuk maupun isi, sehingga hal
yang paling dasar dari pendekatan ini bahwa anggapan tentang cipta
sastra yang merupakan bagian dan karya seni yang hadir di tengah
pembaca.
Bagaimana cara pembaca menemukan keindahan?
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, maka penikmatan estetika karya sastra
dapat dilakukan dengan analisis dari struktur bunyi, bahasa atau diksi,
serta struktur gaya bahasanya maupun gaya penyajiannya.
Sebenarnya
hal yang melatarbelakangi munculnya pendekatan emotif adalah
berdasarkan pandangan bahwa karya sastra adalah bagian dari karya seni,
di mana karya seni tersebut akan mampu memberi hiburan dan kesenangan. Karena
itu pendekatan emotif sedapat mungkin mampu menemukan unsure estetika
dalam karya sastra. Penikmatan keindahan dalam karya sastra bisa diramu
pengarangnya. Lewat penggunaan gaya bahasa yang dipakai pengarangnya di
antaranya gaya bahasa hiperbola, misalnya:
Angkatlah pandang matamu
Ke Swarga loka
Ke sejuta lahir alit
Yang gematar ( W. S Rendra )
Keindahan
dalam karya sastra bisa diramu pengaranya lewat penggunaan gaya bahasa
yang dipakai pengarangya sehingga mampu menghasilkan panorama yang
menarik. Tidak ketinggalan pula dalam penyampaian cerita, peristiwa,
gagasan harus lucu dan manarik serta mampu pula memberikan kesenangan
kepada para pembaca.
Keuntungan
yang ada pada pendekatan emotif antara lain pembaca atau apresiator
bisa menikmati unsur keindahan pada karya sastra. Melalui pendekatan
ini, apresiator menambah wawasan pengetahuannya tentang estetika sastra
serta cara penentuannya secara objektif.
3. Pendekatan Analisis
Dalam
memahami, menikmati, menilai dan menghargai cipta sastra, apresiator
seringkali diperhadapkan pada pengungkapan unsur yang membangun cipta
sastra
a. Melakukan kegiatan pembacaan teks secara keseluruhan.
b. Menampilkan
beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan unsur-unsur intrinsik yang
membanguan karya sastra yang dibacanya; misalnya bacalah terlebih dahulu
karya sastra itu secara slimming, lalu mengajukan pertanyaan di
antaranya bagaimana penokohannya, settingnya, perwatakan setiap tokoh,
dan pertanyaan tentang unsur intrinsik lain yang terdapat dalam karya
sastra itu.
c. Pembaca kembali membaca ulang sambil berusaha menganalisis setiap unsur yang telah ditetapkanya.
d. Dari hasil analisis setiap unsur itu, pembaca lebih lanjut berusaha memahami bagaimana mekanisme hubungannya.
e. Lewat
analisis mekanisme hubungan ini, lebih lanjut pembaca menganalisis
bagaimana fungsi setiap elemen dalam langkah mewujudkan cipta sastra.
Dalam
pelaksanaanya kegiatan analisis itu tidak harus meliputi keseluruhan
aspek yang terkandung dalam suatu karya sastra. Dalam hal ini pembaca
harus membatasi diri, misalnya pada analisis struktur, diksi, gaya
bahasa, atau mungkin analisis unsur kebahasaan.
4. Pendekatan Historis
Pendekatan
historis adalah suatu pendekatan yang menekankan pada pemahaman tentang
biografi pengarang. Latar belakang peristiwa karya sastra, perkembangan
kehidupan penciptaan maupun kehidupan sastra pada umumnya.
Menurut
M.E. Suhendar dan Pien Supinah (1990:42) bahwa yang melatarbelakangi
lahirnya pendekatan ini karena adanya anggapan bahwa karya sastra itu
merupakan bagian dari zamannya. Artinya, seringkali pengarang,/penyair
ingin melakukan perubahan. Misalnya penyair Chairil Anwar, ia tidak mau
dijajah perasaaan dan jiwanya ingin segera merdeka, ia berperang melawan
penjajah melalui karya sastranya, seperti pada penggalang puisinya:
Sekali berarti
Sudah itu mati
Maju
Bagimu Negerimu
Berdasarkan
pendekatan historis ini juga dipakai penyair seperti Taufiq Ismail,
Amir Hamzah, dll. Dalam telaah karya sastra Indonesia, penelaah dapat
memanfaatkan buku kritik dan esai H.B. Yassin, sebagai informasi
kesejarahan tambahan pembaca untuk mengkaji biografi pengarang.
5. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan
sosiologis adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam mengkaji karya
sastra yang berdasarkan konteks sosial atau segi-segi kemasyarakatan.
Artinya penikmatan cipta sastra akan memperkaya nuansa kehidupan
masyarakat sehingga apresiator dan penikmat sastra bisa mengetahui pola
kemasyarakatan.
Pendekatan
yang menjelaskan hubungan antara sastra dan masyarakat telah mengalami
perkembangan dan telah mengalami perkembangan sedemikian rupa. Yang melatarbelakangi munculnya pendekatan ini adalah:
a. Sastra merupakan cerminan pola hidup masyarakat.
Misalnya cuplikan cerita novel “Ranggung Dukuh Pasuk”
Bila kau ingin bertani, aku mampu membeli satu hektar sawah buat kau kerjakan. Bila kau ingin berdagang, akan kusediakan uang secukupnya.
b. Teks sastra sebagai bahasa penelaahan.
Pendekatan
yang digunakan dalam sosiologi sastra adalah analisis teks untuk
mengetahui struktur luasnya karena sastra merupakan suatu kontruksi
sosial, misalnya:
AKU
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang’ kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedai itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan terbuang
. . . . . . . . . . .. . .. . . . ..
Pada puisi Chairil Anwar dalam teks sastra tersebut, terjalin suatu hubungan kemasyarakatan antara aku dan kau.
Langkah penggunaan pendekatan ini adalah:
a. menentukan jenis karya sastra yang akan diapresiasi
b. menentukan unsur kemasyarakatan yang ingin dipahami
c. mengalisis karya sastra dengan mengkaji hubungan kemasyarakatan yang ada pada karya sastra
Hal
ini berdasar pada anggapan bahwa cipta sastra merupakan kreasi manusia
yang terlibat dalam kehidupan serta mampu menampilkan pola hidup
manusia.
6. Pendekatan Deduktif
Adalah
suatu pendekatan yang berusaha menemukan dan memahami gagasan,
tanggapan evakuatif maupun sikap pengarang terhadap kehidupan. Gagasan,
tanggapan, maupun sikap itu akan mampu terwujud dalam suatu pandangan
etis, tolasiti, maupun agamais sehingga mengandung nilai-nilai yang
mampu memperkaya kehidupan rohani apresitor.
Pendekatan
deduktif pada dasarnya merupakan suatu pendekatan yang menuntut daya
kemampuan intelektual, kepekaan rasa, serta sikap dari pembaca.
Penggunaan pendekatan deduktif pada pelaksanaanya diawali dengan upaya
pemahaman suatu pokok pikiran yang terdapat dalam suatu karya sastra.
Penemuan nilai nilai didaktis dari karya bersifat interpreatif dan ada kalanya nilai itu tampil secara eksplisis
sehingga pembaca tak perlu berusaha untuk menafsirkannya. Di samping
itu, aplikasi pendekatan ini akan menjadi pembimbing kegiatan berpikir
pembaca, sehingga pembaca dapat berangkat dari pola berpikir.
Contoh:
Tuhan pun turun membuka sayapnya
Ke luas jauh benua-benua
Dan laut membias warna biru langit semesta
Dan zaman menderas: menusia tetap setia
Dari hasil pengkajian puisi tersebut dapat ditentukan satuan pokok pikiran yaitu :
a. Waktu itu senantiasa terus berjalan dan berganti;
b. Kehidupan yang indah ini senantiasa membuka diri bagi manusia; dan
c. Zaman berjalan terus dan manusia juga tetap setia mengisi kehidupan;
Contoh penggunaan pendekatan deduktif adalah :
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan terbuang.
Biar peluru menembus hatiku
Aku tetap meradang menerjang
Membaca
atau menyimak puisi tersebut, ternyata yang pertama sampai kepada
simakan kita, yaitu suasana puisi tersebut. Selain kevitalitasan yang
dimiliki Chairil Anwar, juga di dalam kehidupannya tergambar
kejalangannya. Sebagai binatang jalanglah yang merupakan keseniannya di
Indonesia.
B. Pendekatan yang Berdasarkan Proses Apresiasi
1. Pendekatan Kode
Membaca
dan menilai sebuah karya sastra bukan sesuatu yang mudah, karena dalam
proses membaca, pembaca harus berupaya memberi makna pada teks. Untuk memberi makna pada teks sastra, dibutuhkan suatu proses yang memerlukan pengetahuan sistem kode.
Pendekatan
sistem kode adalah suatu pendekatan yang dipakai dalam mengapresiasi
karya sastra dengan menentukan kode sastra baik kode bahasa, maupun kode
budaya.
Kode
sastra adalah kode yang menggambarkan mutu sebuah sastra pada
pengkajian teks karya sastra. Kode sastra ini pun merupakan sistem yang
cukup ruwet dan sering kali bersifat hirarki dengan variasi.
Contoh:
Umurku
tiga belas tahun waktu ayahku meninggal. Rumah biru di pojok jalan yang
kutemui sepulang dari sekolah tidak sesepi hari-hari biasa. Aku turun
dari sepeda dengan kecurigaan yang memadat. Sampai di pendopo, kakakku
laki-laki keluar dari pintu mengarah ke kamar tamu.
Kutipan ini diambil
dari roman ”Pada Sebuah Kapal” ini, kode sastra harus kita kembalikan
sifat rekaan sehingga mampu untuk kita kaji maknanya.
Menurut Prof Dr. A Teew (1983:17) bahwa ada beberapa ragam kode sastra yaitu:
a. Kode sastra tidak terlepas dari kode bahasa.
Bahasa
dengan segala sesuatunya adalah sesuatu yang diberikan yang tidak dapat
dihindari dan dimanfaatkan sebaik mungkin. Konvensi bahasa seringkali
ada penyair yang ingin membuangnya karena penyair tersebut kebebasanya
merasa terbelenggu di dalam mengungkapkan makna.
b. Kode sastra berprinsip bahwa setiap pengarang sastra setuju bahasa harus dihilangkan kelenturanya.
Dalam
bahasa sastra, koden yang tidak bermakna harus diberi makna. Contohnya
cukup umum diketahui sejak zaman klasik, misalnya bunyi yang menjadi
barang sampah dalam bahasa sehari-hari, begitu bunyi memenuhi fungsinya
untuk membeda-bedakan unsur bahasa. Dalam puisi bunyi itu diberi makna,
memberi sorotan baru melalui sanjak, atau rima, kalau misalnya Chairil
Anwar mulai sajaknya yang terkenal, yang berjudul “Isa” dengan kata :
Itu tubuh
Mengucur darah
Rubuh
Patah
Jelaslah
pemakaian bunyi vokal tidak kebetulan, melalui persamaan bunyi u dan a
dan persamaan bunyi kata yang mengandung bunyi itu terjadi efek yang
kuat sekali yang menjadikan kita tidak mudah lupa akan baris-baris ini,
sudah tentu dalam makna sajak ini.
Setiap
unsur bahasa dapat, bahkan harus diberi makna yang dalam bahasa
sehari-hari tidak dimilikinya. Ada dua prinsip universal utama yang
berfungsi dalam kode bahasa sastra, yaitu:
a. prinsip ekuivalensi atau kesepadanan
b. prinsip deviasi atau penyimpanan
Sistem konvensi sudah tentu berbeda-beda menurut bahasanya. Sistem konvensi bersastra yang berkembang selama berabad-abad memiliki dua prinsip umum, yaitu:
1. Ada efek kesastraan yang dihasilkan oleh penyimpangan dari bahasa biasa atau dari yang diharapkan oleh pembaca.
2. Ada
efek yang ditimbulkan oleh kesapadanan, gabungan bahan-bahan yang dari
segi tertentu merupakan pasangan ekuivalen, juga menimbulkan hasil, efek
sastra.
c. Sistem konvensi sastra tidak hanya ditentukan oleh kemungkinan, kelonggaran, dan pembatasan yang diberikan oleh sistem bahasa.
Harapan
seorang pembaca ditentukan oleh sinyal yang terimanya, sebelum membaca
atau sambil membaca tentang jenis sastra yang disajikan. Dalam teori
sastra, masalah sistem konvensi sastra tidak hanya menentukan
kemungkinan identifikasi, pengenalan, dan pemberian makna oleh pembaca.
Kemampuan pembaca juga melingkupi potensi untuk memahami dan menerapkan
sistem sastra baru.
d. Konvensi kode sastra.
Karya sastra merupakan dunia yang otonom, yang tidak terikat pada dunia nyata dan makna unsur bahasa yang dipakai di dalamnya.
Misalnya : umurku tiga belas tahun waktu ayahku meninggal
Ini
disajikan beberapa data kepada pembaca roman, yang tidak bermakna apa
pun juga di luar roman ini. Konvensi hukum yang biasa muncul adalah
hukum alam, hukum probality, atau hukum tata susila serta hukum agama
sering berbeda. Bahkan pengarang roman seringkali dengan sengaja atau
tidak membiarkan kita mengenal kembali yang kita ketahui dari dunia
nyata. Banyak pengarang roman untuk menciptakan dunia rekaan yang
terlalu mirip dengan dunia nyata tidak boleh menggoda kita untuk
menghilangkan perbedaan kualitif dan fundamental antara dua macam dunia.
Pencampurbauran
antara dunia imajinasi dan dunia nyata sering terjadi pada karangan.
Misalnya dalam perkara sensur, dengan penerapan ukuran atau norma tata
susila atau agama atau politik pada karya sastra, biasanya perkara
semacam itu timbul dari salah paham mengenai sifat sejati sebuah karya
seni.
e. Adanya relavansi signitif antara dunia rekaan dengan data bahasa karya sastra.
f. Karya sastra merupakan keseluruhan yang mempunyai struktur yang konsisten dan koluren.
2. Pendekatan Ekspresif
Pendekatan
ekspresif adalah pendekatan yang dipakai dalam memahami karya sastra
dengan cara mengungkapkan gambaran, maksud, gagasan, dan perasaan.
Karena itu, pendekatan ini menitiberatkan perhatian kepada upaya
pengarang atau penyair mengekspresikan ide-idenya ke dalam karya sastra.
Kemampuan pengarang menyampaikan pikiran yang agung dan emosi yang kuat
menjadi ukuran keberhasilan. Yang menjadi fokus garapan para apresiator
adalah kejiwaan pengarang.
Langkah pengunaan pendekatan ekspresif adalah:
a. Langkah Persiapan
Persiapan
yang dilakukan apresiator yaitu pengetahuan dan pemahamannya terhadap
jiwa pengarang/penyair yang mungkin tergambar pada karangannya. Selanjutnya pengkajian maksud lain baik berupa pelambangan atau bentuk tersirat dari karya tersebut.
b. Langkah Pelaksanaan Apresiasi Sastra
Langkah
ini dilakukan apresiator dengan mencoba mendalami dan memahami sastra
dengan cara mengungkapkan gagasan, maksud, perasaan pengarang terhadap
isi karyanya.
c. Langkah Revisi dan Penikmatan Karya Sastra
Apresiator
pada langkah ini akan mencoba merevisi hasil apresiasinya sehingga
hasil apresiasi tersebut bisa dinikmati dengan baik.
Contoh HAMPA
Karya : Chairil Anwar
Sepi di luar. Sepi menekan mendesak
Lurus kaku pepohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut
Segala menanti. Menanti. Menanti
Sepi
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba-setan bertempik
Ini sepi terus ada- dan menanti.
Puisi
Charil Anwar tersebut seolah-olah mengungkapkan satu gambaran
kebosanan, kesepian yang menekan karena harus menanti dan menanti.
Karena itu perasaan yang mungkin terungkap bahwa menyuruh orang atau
membuat orang harus menunggu merupakan pekerjaan yang membosankan.
Sesuatu yang membosankan adalah berat untuk dilakukan. Ia dapat menekan
jiwa dan batin kita.
3. Pendekatan Kognitif
Pendekatan
ini menitikberatkan pada pemahaman dan penikmatan karya sastra dengan
menghubungkan pengetahuan dan pemahaman konsep karya sastra, serta
pengalaman apresiator dengan pengkajian isi karya sastra tersebut.
Karena itu seringkali apresiator dalam mengaplikasikan pendekatan ini
berusaha menggali isi karya sastra melalui proses kesadaran dan
perasaan.
Langkah penggunaan pendekatan kognitif adalah:
a. mempersiapkan pengetahuan konsep tentang karya sastra
b. menentukan pengalaman yang mungkin terjadi pada karya sastra
c. mengungkapkan isi karya sastra berdasarkan pengetahuan, dan pengalaman tersebut
d. menikmati isi karya sastra dengan memberi penilaian pada karya tersebut
Contoh:
Di bawah bulan Marly
Dan pohon musim panas.
Apresiator
dalam mengapresiasikan pendekatan ini harus memiliki konsep pengetahuan
dan pengalaman. Misalnya kata Marly akronim dari Maret dan July, di
mana bulan dianggapkan cocok dengan larik kedua padahal jika apresiator
menggunakan pengetahuan dan pengalamannya akan menafsirkan kata Marly
sebagai nama tempat, dekat Paris dengan hutan yang cukup terkenal,
tempat orang perancis pergi piknik di hari minggu.
4. Pendekatan Semantis
Pendekatan
semantik menitikberatkan pada upaya memahami makna dalam suatu teks
sastra. Sesuai dengan kompleksitas pemahaman teks sastra, akhirnya
telaah makna lewat pendekatan ini bukan hanya berkaitan dengan unsur
sastranya tetapi juga unsur bahasa sastra.
Apabila
pendekatan semantik semata-mata menekankan pada aspek makna dalam suatu
teks sastra juga berkaitan dengan struktur bahasa. Karena itu,
apresiator hendaknya dalam memaknai karya sastra harus memiliki bekal
sebagai berikut:
a. pengetahuan tentang konsep sastra, baik berkaitan dengan jenis sastra, struktur sastra maupun penciptaan sastra
b. daya imajinasi yang akan mengantarkan pada analisis struktur kebahasan
c. kemampuan mengaplikasikan pendekatan apresiasi sastra
Langkah pelaksanaan pendekatan semantik adalah:
a. memahami jenis sastra yang akan dianalisis
b. mengkaji struktur kebahasan sastra
c. menggunakan pendekatan yang sesuai jenis sastra yang di analisis
5. Pendekatan Akustik
Pendekatan
yang menekankan pada bagaimana hubungan teks sastra dengan ruang atau
bunyi yang ada pada diksi karya sastra tersebut. Beranjak dari sisi
jelas bahwa pendekatan akustik ini akan terus mengkaji karya sastra
dengan menganalisis struktur bunyi atau rimanya. Karena itu jenis karya
yang sesuai pendekatan ini adalah puisi, apalagi teknik apresiasi yang
digunakan melalui menyimak sastra.
Langkah yang digunakan pada pendekatan akustik adalah:
a. memilih jenis karya sastra yang berbentuk puisi
b. menentukan struktur bunyi yang akan diapresiasi
c. menganalisis bentuk bunyi dan rima pada puisi
d. memahami dan menikmati puisi tersebut dengan pengkajian struktur bunyi
Contoh :
Hatiku rindu bukan kepalang
Dendam berahi berulang-ulang
Air mata berencur selang-mengelang
Mengenangkan adik kekasih abang
Diriku lemah anggotaku layu
Rasakan cinta bertalu-talu
Kalau begini datangnya selalu
Tentulah kakanda berpulang dahulu
Kalau
puisi diatas dianalisis berdasarkan jenis rimanya, maka puisi rimanya
adalah rima rangkai, karena kata-kata yang terdapat pada setiap larik
merupakan kata beruntun.
6. Pendekatan Struktural
Pendekatan
ini membatasi diri pada penelahan karya sastra itu sendiri, terlepas
dari soal pengarang dan pembaca. Dalam hal ini, apresiator memandang
karya sastra sebagai suatu kebulatan makna, akibat perpaduan isi dengan
pemanfaatan bahasa sebagai alatnya.
Dengan
kata lain, pendekatan ini memandang dan menelaah sastra dari segi
intrinsik yang membangun suatu karya sastra, yaitu tema, alur, latar,
penokohan, dan gaya bahasa.
Perpaduan yang harmonis antara bentuk dan isi merupakan kemungkinan yang kuat untuk menghasilkan sastra yang bermutu.
Misalnya :
MALAM MAULUD
Karya Djamil Suherman
Beberapa
hari kemudian datanglah bulan Maulud. Orang-orang dan kanak-kanak
kedungpring menyambut hari itu dengan sukanya. Karena hari itu adalah
hari ulang tahun lahir Nabi Besar Muhammad SAW dan pada hari itu tiap
orang Islam sama merayakan dengan upacara-upacara.
Cuplikan
prosa di atas jika diapresiasi dengan pendekatan struktural, maka unsur
intrinsik dari prosa tersebut perlu pengkajian. Karena itu, awal dari
prosa sudah menggambarkan adanya seting.
7. Pendekatan Romantik
Pendekatan romantik menitikberatkan pada 2 hal yaitu:
a. Pengkajian dan penikmatan sastra melalui pengungkapan estetika sastra, sehingga dibutuhkan daya imajinasi dari apresiator.
b. Pengkajian dan penikmatan sastra dengan cara latar belakang penciptaan sastra dan tahun penciptaan sastra.
Kedua
dasar apresiasi melalui pendekatan ini bisa digunakan salah satunya
atau dipadukan keduanya. Untuk menggunakan dasar yang kedua diperlukan
pengetahuan tentang latar belakang pencipta dan tahun penciptaan melalui
buku sejarah sastra.
Langkah yang ditempuh apresiator dalam mengaplikasikan pendekatan ini adalah:
a. menentukan jenis sastra yang akan dinikmati dengan memperhatikan
1. unsur sejarah, yaitu tahun penciptaan, dan latar belakang penciptanya
2. unsur estetika yaitu keindahan yang terdapat pada cipta sastra
b. memahami unsur sejarah dan estetika sastra
c. menganalisis unsur sejarah dan estetika pada karya sastra
d. menikmati hasil analisis unsur tersebut
Misalnya:
BUAH RINDU
Karya Amir Hamzah
Wah kalau begini naga-naganya
Kayu basah dimakan api;
Aduh kalau begini laku rupanya
Tentulah badan lekaslah tani
Ibu, konon jauh tanah selindung
Tempat gadis duduk berjuntai
Bondu, hajat hati memelu gunung
Apa toh daya tangan ta’sampai
Berdasarkan
pengkajian unsur sejarah sastra, maka tampak bahwa Amir Hamzah
mengisahkan pertemuan kala malam terang bulan dalam suasana kampung
Melayu di mana si gadis berseloka dan di kejauhan terdengar gembala
berdendang.
C. Pendekatan Berdasarkan Landasan Teori
1. Pendekatan Fenomenologi
Pendekatan
fenomenologi adalah pendekatan yang dipakai dalam memahami, menikmati,
dan menghargai karya sastra dengan mengkaji hakikat sastra dan bagian
estetika sastra secara logika. Untuk mengkaji hakikat sastra, tentunya
pusat perhatian apresiasi tersebut mengacu pada aspek makna dan nilai
yang terkandung dalam karya sastra.
Untuk
memahami makna dan nilai sastra, apresiator harus mampu memahami
realitas tersurat yang digambarkan pengarang terhadap karyanya.
Sedangkan pengkajian bagian estetika dilakukakn apresiator setelah
memahami nilai yang terdapat pada karya sastra.
Langkah yang ditempuh dalam mengaplikasikan pendekatan ini adalah apresiator memiliki:
a. pemahaman terhadap konsep sastra
b. pengetahuan tentang nilai sastra
c. daya analisis terhadap makna dan nilai
d. menikmati konsep makna dan nilai dari segi estetika
Contoh
Sehabis
angin rebut seekor laba-laba menemujkan dirinya terdampar di tepi
kolam. Ia melihat sekelompok udang dan mencoba menggabungkan diri, akan
tetapi ia tidak dapat berenang. Dillihatnya pula ketam-ketam kecil yang
bentuknya lebih mirip dengan dirinya. Cukupkah cerita tersebut jika
diapresiasi nampak bahwa memang seseorang hanya mengenal dirinya atau
tidak asing terhadap dirinya. Ini sangat terkait dengan social sehingga
nilainya adalah nilai social dengan keindahan / estetikanya pilihan kata
yang digunakan.
2. Pendekatan Hermeneutika
Pendekatan
hermeneutika adalah pendekatan yang menitikberatkan pada pengkajian
hubungan sastra dengan kehidupan sosial-budaya yang melatarbelakangi
karya sastra tersebut. Artinya, pendekatan ini hanya bisa dilakukan jika kita mampu memahami latar belakang sosial-budaya dari pencipta karya tersebut.
Langkah penerapan pendekatan hermeneutika adalah:
a. mengetahui latar belakang terciptanya karya sastra
b. memahami isi karya sastra
c. mengkaji hubungan social-budaya karya sastra dengan pencipta karya sastra
Contoh:
Kapan, kapan di tengah abad glamour, di tengah kanker
teknologi, di tengah simpang-siur nilai-nilai
di tengah berjejak-jejaknya kerakusan
dan lupa diri, kapan aku bisa
setia dan menggapai
Nya
Akulturasi
puisi tersebut dengan pencipta puisi adalah kehilangan kepercayaan
kepada kemutlakan nilai-nilai sosial-budaya di tengah masyarakat.
3. Pendekatan Formalisme
Pendekatan
formalisme adalah pendekatan apresiasi sastra yang bertumpu pada
pemahaman dan penikmatan karya sastra dari aspek bentuk dan aspek bahasa
sebuah karya sastra. Totalitas dari aplikasi pendekatan formalisme ini
terletak pada pengkajian batas karya sastra saat bahasa yang digunakan
karya sastra tersebut.
Langkah yang digunakan pendekatan formalisme adalah apresiator melalui:
a. pengetahuan konsep tentang bentuk dan bahasa sastra
b. memakai cara penggunaan pendekatan ini
c. daya analisis yang matang terhadap batas dan bahasa sastra
Contoh :
Kunci dibalik
pintu
dan pintunya
terkunci
Puisi
ini, jika berdasarkan aspek bahasa mempunyai makna simbolik secara
tersirat yang berarti bahwa kebutuhan akan Tuhan atau tata nilai yang
konsisten sebagai rumah rohani adalah kebutuhan yang mendesak yang
melibatkan seluruh tenaga jiwa penyair di dalam intesitasnya yang
tinggi.
Sedangkan
jika puisi dianalisis berdasarkan aspek dan bentuk, karya sastra
tersebut merupakan bentuk puisi modern, dan tentunya bentuk puisi modern
hanya mengangkat persoalan kehidupan setiap manusia itu memiliki
kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani. Kebutuhan rohani salah satunya
adalah kebutuhan akan Tuhan.
4. Pendekatan Strukturalisme
Pendekatan
strukturaliseme adalah pendekatan yang digunakan dalam mengapresiasi
karya sastra dengan menelaah sastra dari segi unsur yang membangun baik
unsur intrinsik maupun unsur ekstrinsik. Menurut A. Teew (dalam Abd.
Khalik Sani, 2004:1) bahwa asumsi dasar strukturalisme adalah teks
sastra merupakan keseluruahan yang bulat dan mempunyai koherensi
batiniah. Di
dalam keseluruhan itu, setiap bagian dan unsur memainkan peranan yang
hakiki. Bagian dan unsur itu lebih lanjut mendapatkan makna sepenuhnya
dari makna keseluruhan teks.
Pendekatan
strukturalisme banyak dianut oleh penikmat sastra yang ada di dunia.
Misalnya pendekatan strukturalisme di Perancis biasa disebut
strukturalisme klasik, di mana pendekatan ini lebih banyak menekankan
deskripsi bahasa dalam teks sastra.
Sementara
itu, strukturalisme Amerika biasa disebut New Criticism, di mana
pendekatan ini berorientasi pada struktur dengan totalitasnya dan lebih
banyak berorientasi pada isi, khususnya unsur intrinsik.
Mukarousg dan Vodicka yang menganut strukturalisme praha, menekankan pada aspek tanda atau sign
sebagai media utama. Bidang kajian lain dari strukturalisme praha
adalah unsur eksternal sastra, sehingga jika aliran ini digunakan dalam
menikmati karya sastra maka terlepas dari keberadaanya sebagai seni.
Adapun langkah yang digunakan adalah:
1. Langkah Persiapan
Yang
diperlukan pada pendekatan ini terkait dengan pemahaman dan pengetahuan
apresiator tentang unsur karya sastra (unsur intrinsik dan ekstrinsik).
2. Langkah Pelaksanaan Apresiasi
Untuk
langkah pelaksanaan ini, apresiator dengan bekal pengetahuanya
melakukan analisis karya sastra dengan mengkaji struktur utama karya
sastra yakni unsur intinsik.
Selanjutnya
hasil pengkajian itulah, apresiator dapat dengan mudah memahami,
menilai, dan menikmati, serta menghargai karya sastra tersebut secara
objektif.
3. Langkah Pengoreksian Hasil Apresiasi
Langkah ini perlu dilakukan apresiator tidak lain hasil apresiasi tersebut dapat memberi sumbangsih pemikiran dalam pengkajian karya sastra yang lain dan bisa diterima oleh penikmat sastra.
Contoh:
DUSUN MALAM SELESAI HUJAN
Buat Mujiono PS
Dari semak – semak yang basah
Ada desir meski tak kupahami
Namun kuhayati
“Seakan jejak bulan atak akan basi”
malam dusun yang disejukkan angin dan hujan
serintis resah dari akar pohon siwalan
yang besok akan dikumandangkan awan dan burung
akan selalu menagih nilai
dari bukit ke bukit
. . . . . . . . . . . . . . .
Untuk
menggunakan pendekatan strukturalisme pada puisi di atas, maka
persiapan yang dilakukan adalah pengetahuan apresiator terhadap struktur
puisi, yakni unsur intrinsik (tema, amanat, korespondensi, musikalitas,
dan bahasa). Pada puisi yang berjudul ‘Dusun Malam Selesai Hujan” dan
kita kaji struktur korespendonsi dalam hal ini hubungan larik dengan
larik, maka daya imajinasi kita mengantarkan pada suatu tempat yang
tidak mungkin dilupakan seperti tergambar pada larik ”Seakan jejak ulang
tak akan basi”, karena itu secara tidak langsung pula melalui
pengkajian larik-larik terungkap makna dan analisis puisi. Bahkan
deteksinya yang begitu kental dengan kehidupan kita tentang suasana desa
atau dusun memberikan nilai estetika tersendiri buat kita sebagai
penikmat puisi.
5. Pendekatan Semiotika
Pendekatan
semiotika ini pada dasarnya merupakan pengembangan pendekatan
strukturalisme, yaitu penelaah sastra dengan mempelajari setiap unsur
yang ada didalamnya, tanpa ada yang dianggap tidak penting, serta
melihat suatu karya sastra sebagai yang terikat kepada sistem yang
dibentuknya sendiri, sehingga sistem yang ada di luarnya tidak berlaku
terhadapnya.
Pendekatan
semiotika melihat sistem itu jauh lebih luas. Dalam semiotika, segala
unsur yang ada dalam suatu karya sastra dilihat sebagai bagian dari
suatu sistem. Dengan demikian, setiap unsur dalam suatu karya sastra
adalah seperangkat sistem. Sesuatu yang hidup dan tumbuh dalam suatu
masyarakat akan tercermin di dalam sastra, karena sastra itu tidak dapat
melepaskan diri dari sistem kemasyarakatan itu sendiri.
Bila
suatu masyarakat memperlihatkan pembenturan berbagai nilai maka
kekacauan dan pembenturan itu akan tercermin pula dalam karya sastra.
Pola bahasa masyarakat yang kacau mungkin saja akan tercermin dalam
bahasa yang digunakan oleh pelaku-pelaku cerita sehingga menelaah suatu
karya, mau-tidak mau harus menghubungkan dengan kenyataan kehidupan
masyarakat. Begitu penting adanya analisis yang memperhatikan atau
memandang sesuatu sebagai satu sistem yakni, sistem tanda, sesuai dengan
pandangan semiotik bukan hanya dapat menghubungkan sistem dalam karya
sastra itu sendiri, tetapi juga dengan sistem yang ada di luarnya dengan
sistem kehidupanya. Dalam hubungan ini, tidak mungkin diabaikan
kesanggupan kita untuk memahami kehidupan itu sendiri, tentu saja harus
didukung oleh ilmu bantu yang lain.
Dengan
pendekatan semiotik ini, diharapkan dapat memahami karya sastra dengan
baik sehingga memungkinkan kita dapat memberikan penilaian secara lebih
positif. Adapun langkah pelaksanaanya sama dengan pendekatan
strukturalisme, karena pendekatan semiotik dikembangkan dari pendekatan
strukturalisme. Hanya yang perlu diperhatikan pada pendekatan ini bahwa
dalam memakai dan menikmati karya sastra, pembaca betul-betul obyektif.
Kriteria utama dalam memberikan penilaian secara objektif menurut Graham dan Wellek Waren adalah pada adanya:
a. relavansi nilai-nilai eksitensi manusia yang terpapar melalui jalan seni
b. adanya rangkap, keluasan, serta daya pukau yang disajikan
6. Pendekatan Resepsi
Pendekatan
resepsi merupakan pendekatan dalam mengapresiasi karya sastra, yang
menekankan bahwa menikmati, memahami, menilai, dan menghargai karya
sastra diserahkan kepada penikmat karya sastra itu sendiri. Hal in
sejalan pendapat Jaeques Lacan dan Rolan Bartesh (dalam Abdul Khalik
sani, 2004:2) bahwa sebuah karya sastra, setelah hadir di tengah
masyarakat pembaca, pembaca sendiri itulah yang akan memberikan makna.
Keragaman
yang bisa timbul pada pendekatan ini disebabkan karena pembaca atau
penikmat sastra memiliki berbagai panafsiran yang timbul, juga bisa
disebabkan adanya perbedaan bekal pengetahuan dan pengalaman pembaca itu
sendiri. Bahkan tidak mustahil peralihan pemahaman dari seorang pembaca
mengalami perubahan atau cukup mungkin perkembangan segala dengan
perkembangan kepekaan, rasa intelektual maupun pengalaman pembaca.
Berbeda
pendapat Antar Sani (1985:44) mengatakan pendekatan resepsi adalah
pendekatan yang menganut prinsip bahwa pendekatan ini dapat memberi
kesenangan dan faedah bagi pembacanya. Karena itu pembaca atau penikmat
karya sastra sangat diharapkan adanya upaya maksimal untuk melakukan
kegiatan apresiasi agar ada faedah yang bisa dipetik sehingga
menimbulkan kesenangan serta kecintaan terhadap karya sastra.
Untuk melakukan kegiatan apresiasi sastra dengan menggunakan pendekatan ini, maka langkah yang harus dilakukan adalah:
a. Langkah Persiapan
Apresiator sebelum melakukan apresiasi mendalami tentang teknik apresiasi sastra dengan mengetahui konsep hakikat kesusastraan.
b. Langkah Pelaksanaan Apresiasi
Pada
langkah ini apresiator mengkaji faedah apa yang dapat dipetik dari
kegiatan apresiasi tersebut. Apabila apresiator sudah memahami faedahnya
maka dengan sendirinya ada motivasi yang timbul pada diri apresiator
tersebut.
c. Langkah Penikmatan
Setelah
apresiator memperoleh faedah, maka apresiator bisa menikmati karya
sastra tersebut. Penikmatan karya sastra itu bisa senang bisa juga tidak
senang terhadap karya sastra.
7. Pendekatan Psikoanalisis
Shakespare,
dalam bukunya “A Midsummer Night Dream” menyatakan pula bahwa antara
orang gila, orang yang jatuh cinta, dan penyair terdapat persamaan.
Mereka memiliki otak yang bergolak, khayal yang bersifat membentuk, yang
dapat menangkap hal-hal yang berada di luar jangkauan akal sehat.
Pernyataan
di atas sudah barang tentu tidak timbul dengan sendirinya melainkan
sebagai pengungkapan kepribadian seniman. Bagaimanapun juga, bagi mereka
yang tertarik dan mencintai kesenian, kepribadian seniman sudah barang
tentu merupakan pokok yang menarik.
Tampaknya
upaya analisis secara psikoanalisis lebih banyak diarahkan kepada
sastrawan, seniman, dan proses kreatifitas dari pada terhadap pembaca
dalam menikmati dan mengapresiasikan sastra.
Berdasarkan
uraian di atas, jelas bahwa pendekatan psikoanalisis adalah pendekatan
dalam mengapresiasi sastra yang menekankan pada kehidupan jiwa pengarang
atau penyair lewat biografi sehingga menimbulkan daya kreatifitas.
Walaupun
demikian, sebenarnya mudah diduga bahwa keterkaitan teori-teori
psikoanalisis dalam kegiatan apresiatif sama besarnya dengan
keterkaitannya dalam kegiatan kreatif. Dengan
demikian, apresiator yang mempergunakan pendekatan ini dapat
dibandingkan dengan analisis dokter kepada pasiennya, sastrawan
seakan-akan menampilkan penyakitnya pada karyanya.
Selanjutnya
psikoanalisis pun dapat dipergunakan untuk menjelaskan watak para tokoh
cerita. Berikut langkah pelaksanaan pendekatan psikoanalisis:
a. analisis kehidupan jiwa pengarang melalui biografi
b. analisa isi karya sastra dengan pola kehidupan jiwa pengarang atau penyair
c. analisa tentang keindahan karya sastra
Contoh:
KARANGAN BUNGA
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu – malu
Datang ke Salemba
Sore itu
Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Puisi
karya Taufiq Ismail yang berjudul “Karangan Bunga” jika diapresiasi
menurut pendekatan psikoanalisis, maka tergambar kehidupan jiwa Taufiq
Ismail yang ingin menguraikan kepada kita tentang kedukaan sebagai
akibat dari kesewenang-wenangan atau kezaliman.
Hal
ini dapat dikaji berdasarkan biografi Taufik menciptakan puisi dari
protes penyair terhadap ketidakadilan, ketidakberpihakan pemerintah pada
masyarakat kecil. Kepedulian penyair tentang problem kehidupan sosial
saat itu melahirkan sejumlah puisi Taufiq Ismail.
Disamping
itu, puisi “Karangan Bunga” dibuat ketika protes sosial berangsung, ada
salah seorang mahasiswa yang tertembak mati. Namun, kepeduliaan
pemerintah saat itu tak satu pun merasa berduka bahkan anak kecil pun
letih memahami duka. Analisis kejiwaan baik sastra maupun kehidupan jiwa
pengarang/penyair merupakan serangkaian totalitas dalam menikmati karya
sastra.