Maza (Sebuah Nama)
Mazarina Varisha menatap lengkung pelangi itu sekali
lagi. Matanya mulai berkaca-kaca. Tirai air mata yang selama ini dibendungnya
akhirnya tumpah juga. Puncak cerita yang tak pernah terpikir dalam angahnya,
kini terjadi. Perlahan tangan kanannya mengusap air mata yang meluber pada
pelipis kirinya. Sebelum melangkahkan kaki meninggalkan tempat kenangannya itu,
gadis yang biasa dipanggil dengan sebutan Maza ini pun memutar badannya,
menatap sosok tegap yang tak jauh dari pandangannya. Kembali terasa sesak di
dadanya. Maza menarik napas berat lalu mengembuskannya perlahan.
Cukup sampai di sini, pikirnya.
Vino Alvareza, lelaki yang telah
menjalin hubungan dengan Maza lebih dari lima tahun. Sama halnya dengan Maza,
Vino merasa berat untuk melangkahkan kaki pergi meninggalkan tanah airnya
tercinta. Terutama gadisnya, Maza.
“Maafkan aku, Za. Ini bukanlah akhir
kisah kita, belajarlah mengerti keadaan agar kamu dapat menjadi gadis yang
lebih tegar dan siap untuk menghadapi kerikil-kerikil dunia,” pesan Vino kepada
Maza sebelum memutuskan pergi ke negeri orang.
Maza mengangguk pelan. “Aku memahami
itu, Vin. Jarak bukanlah hal yang dapat memutuskan hubungan kita, bukan? Aku
akan menunggumu, sampai urusanmu menuntut ilmu selesai. Jadilah seseorang yang
sukses,” tanggapan Maza sembari menitikkan air mata.
Vino tak tega melihat kekasihnya
itu, diusapnya air mata Maza dengan jemarinya. Maza pun tersenyum di balik air
mata yang turun ke sekian kalinya. Dirinya telah rela dengan keputusan Vino.
Vino tersadar dengan bayangannya.
Sesaat Vino membalik badannya untuk melihat sosok Maza untuk terakhir kalinya.
“Maza ....”
Terlihat tatapan kecewa di raut
wajah Vino. Sosok yang dicarinya sudah tak lagi di tempat. Dengan perasaan
sedih, Vino menyeret koper-kopernya dan masuk ke ruang tunggu bandara.
*
“Za ... Maza ....”
Maza tersadar dari lamunannya.
Tepukan Sindi, sahabatnya sejak kecil itu mampu membuatnya kaget dan terkesiap.
“Siang bolong kenapa melamun?” tanya
Sindi sembari duduk di sebelah Maza.
“Kira-kira, Vino sekarang lagi apa,
ya, Sin? Barangkali dia sudah tak lagi ingat siapa sosok Maza. Hari ini tepat
tiga tahun dia meninggalkan kita.”
“Kamu omong apa, sih? Mana mungkin
Vino tak ingat kamu, seorang Vino hanya pernah mencintai seorang gadis, yaitu
Maza.”
Maza menggeleng seraya air matanya
jatuh menetes membasahi pipinya. “Jerman itu luas, Sin. Dan kamu tahu ... di
sana banyak cewek-cewek cantik, pintar, dan sosialisasi mereka sangat tinggi
... sedangkan ... aku di sini tak berdaya. Hidupku hanya untuk melawan sakit
yang senantiasa menggerogoti diriku. Mana mungkin ... Vino ....”
“Ssssttt ... cukup! Jangan teruskan,
Za.” Sindi memeluk tubuh sahabatnya itu dengan erat. Lantas Maza masih
sesegukkan dalam tangisnya.
“Kamu pasti kuat. Seorang Maza yang
aku kenal ... sangat tangguh, sabar dalam menghadapi cobaan.”
*
Senja sudah pulang ke peraduannya
sejak tiga jam yang lalu. Kini bebintang sudah menampakkan kerlipnya di antara
senyum rembulan. Seperti biasa, Maza duduk di depan meja belajarnya sambil
menggenggam pena berwarna merah. Secarik kertas diambilnya dari laci almari
buku miliknya. Penanya mulai menari-nari di atas permukaan kertas putih,
meluapkan rasa dalam rangkaian aksara.
Dalam
satu cakrawala kita mencumbu kisah, hingga kini pun sama
Biarkan
angin mengempas, berembus
Hingga
daku tenang mencecap moksa. Dan engkau pun tahu,
Sebongkah
rasa terselip dalam jubah waktu
Entah sudah berapa sajak yang sudah
Maza rangkai semenjak kepergian Vino. Kertas-kertas itu tersimpan rapi di laci
meja belajarnya. Hanya itu yang bisa dilakukan Maza untuk Vino. Walaupun
sebenarnya Vino tak akan pernah mengetahui kerinduan Maza yang telah
disimpannya sejak lama.
“Bahkan sampai sekarang manik matamu
tak terlihat olehku ....” gumam Maza sebelum memejamkan mata dan menikmati
dunia kapuk.
*
“Apakah tak ada cara lain, Dok?”
“Maaf, Bu ...”
Bunda Maza tak henti merintih dan
menangisi takdir anaknya. Anak semata wayangya itu sudah menjadi teman hidupnya
semenjak sang suami meninggal dunia. Sejak saat itu hanya Maza teman, sahabat,
keluarga, sekaligus anaknya. Peran Maza tak dapat tergantikan.
Namun kini keadaan terbalik. Dirinya
tak rela apabila teman hidupnya itu harus pergi juga menyusul sang suami.
Kanker dalam diri Moza telah
menyebar hingga ke paru-paru. Dokter sudah mengoptimalkan kinerja mulai dari
pengobatan jalan hingga melakukan kemoterapi. Namun tak banyak perubahan yang
terjadi.
“Tante yang sabar, ya. Aku yakin
Maza pasti bisa sembuh. Maza seorang gadis yang kuat,” ucap Sindi menguatkan
hati Bunda Maza.
“Semoga dia tetap semangat. Tante
justru merasa bersalah, sebagai seorang Ibu, Tante belum bisa membuatnya
bahagia. Bahkan Tante pernah menentang keinginannya untuk menjadi seorang
penulis. Dan ... kini Tante tidak bisa berbuat banyak .... dia hampir
menghabiskan hidupnya untuk menunggu Vino, yang tak kunjung menemuinya.” Bunda
Maza masih terus menangis.
“Maza pasti memahami itu, dia sangat
sayang dengan Tante.”
“Apa harus, kita bawa Maza ke luar
negeri untuk menjalani kemoterapi? Tante rasa di luar negeri peralatan lebih
canggih. Hanya ini yang bisa Tante usahakan. Walaupun harta habis, asalkan Maza
tetap hidup ... di samping Tante.”
“Bisa saja, di Jerman aku pernah
dengar ada cara pengobatan untuk pasien kanker. Dan peralatan mereka lebih
canggih. Setidaknya bisa memperpanjang vonis Dokter.”
“Kalau begitu, kita berangkat nanti
sore. Kamu ikut, ya?”
“Pasti, Tante.”
*
“Sin, tolong jangan lupa membawa
kertas-kertasku di laci meja belajar.”
“Untuk apa?”
“Kumohon ...” ucap Maza seraya
menggenggam pergelangan tangan Sindi. Karena merasa iba, Sindi pun menuruti
keinginan sahabatnya itu.
Sudah sekitar dua tahun Maza tidak
naik pesawat. Terakhir kali naik pesawat saat pergi ke Jepang untuk pertukaran
pelajar. Tak heran jika kini wajahnya sumringah ketika berada di bangku
pesawat. Tak lupa Sindi dan Bundanya menemani perjalanannya ke Jerman.
“Bund, Maza mau ke toilet dulu. Maza
mual.”
“Bunda antar, ya? Atau mau diantar
Sindi?”
“Tidak perlu. Maza bisa sendiri.”
“Tapi Za ... kamu pucat sekali, kamu
kan masih ....”
“Apa? Sakit? Aku tidak sakit! Aku
sehat Sin, jangan selalu menganggap aku manusia paling lemah di dunia ini, yang
selalu harus diantar kemana-mana.”
Setelah berkata demikian, Maza
melangkahkan kaki menuju toilet. Tak dapat dipungkiri, di dalam toilet Maza
muntah dan merasa mual yang luar biasa. Kepalanya berkunang-kunang. Semakin
lama dirasakannya sakit di sekitar tulang rusuknya. Tangan kanannya tak henti
mencengkeram erat dadanya.
“Tuhan ... jangan sekarang.”
Badannya sempat terhuyung. Tangan
kirinya memegang pinggiran westafel dengan erat. Ketika dirasa tangannya tidak kuat
menahan tubuhnya, Maza menyandarkan punggungnya ke tembok toilet.
“Maza ... kamu kenapa?”
Seketika itu diulaskan senyum kepada
Sindi yang memergokinya terduduk di lantai toilet. “Aku nggak papa. Hanya tadi
ada kecoa di bawah.”
“Masa sih, ada kecoa?”
“Udahlah, ayo kita kembali.”
*
Setelah turun dari pesawat, Maza
terlihat sangat pucat dan napasnya tak beraturan. Tim medis langsung memberikan
tindakan. Sedangkan Sindi dan Bundanya menunggu dengan hati resah di luar ruang
tindakan. Tak lama kemudian, seorang dokter berkewarganegaraan Jerman keluar dari
ruangan.
“Bagaimana keadaan Maza?”
“Sie
sehr gut. Jangan khawatir.” Rupanya sang Dokter dapat berbahasa Indonesia
sedikit-sedikit.
Bunda dan Sindi pun bergegas masuk
ke ruangan. Tepat di atas ranjang, Maza terbaring sembari mengulas senyuman. “I am fine, Mom.”
“Sin, di mana penaku?”
“Pena? Di dalam tas.”
Kembali Maza mengukir sajaknya.
Negeri
hamburger pun kususuri. Mencari sebongkah harap pada cela nan ambigu ini. Rasa
pun taksa terasa. Senja kembali menemaniku dalam sebuah sandiwara cerita. Tak penat!
Daku menabur senyum pada pelita jiwa. Pula menanti kisahkasih selanjutnya.
Bahkan frasa yang kucurahkan dalam lantunan doa-doa. Pada malam kulumat
perih-perih rindu rahasia. Per bab kitab-kitab wicara. Denting waktu telah
dibunyikan. Terasa sayap mengajak terbang, beranjak pulang.
“Kamu menulis apa, Za?”
“Aku minta tolong ... jika suatu
saat nanti aku tiada, aku akan serahkan kertas-kertas ini kepadamu. Bukukan
sajak sederhana ini dalam sebuah buku berjudul ‘Repih-repih Kisah’ Setidaknya aku bisa menjadi penulis sesaat,
hehe ...”
“Tidak! Kamu pasti sembuh, Za.
Percayalah ...”
*
Mazarina
Varisha
Nama itu terpatri di sebilah papan.
Tidak! Tepatnya sebuah batu nisan. Seorang yang bersemangat tinggi dan berjiwa
tegar kini sudah saatnya mencecap moksa.
Sindi hanya bisa mengenang memori
bersama sahabatnya itu. Walaupun pernah ditentang untuk menjadi seorang
penulis, kini karyanya sudah mampu dinikmati khalayak banyak. Walaupun sang author telah tiada. Namun karyanya akan
selalu ada dalam hati pembaca.
Vino, seseorang yang dinantinya kini
datang. Namun dalam keadaan menyedihkan. Sosok yang dicintainya telah tiada.
Hanya sebuah buku yang berjudul Repih-repih
Kisah yang dapat dia nikmati. Dan dengan membaca lembar-lembarnya dia
mengerti, bahwa Maza sangat teramat merindukannya. Dalam sebuah rindu rahasia.
*The End*
0 komentar :
Posting Komentar