-
KITAB
PUISI
-
Penulis: Anggi Putri
Penyunting: Nasta’in Achmad
Penyelaras Akhir: Tim Pustaka Kata
Tata Letak: Tim Pustaka Kata
Desain Sampul: Ali Wirasatriaji
Diterbitkan oleh:
Penerbit Pustaka
Kata
Jalan Rambutan No. 19 RT 05 RW 04 Mojoagung,
Jombang-Jawa Timur
Telp/Hp (085731098775/085787056787)
Email: pustakakata@gmail.com
Cetakan Pertama, Juni 2015
xxv + 110 hlm: 13 cm x 19 cm
ISBN: 978-602-0855-63-9
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh
Isi buku ini tanpa izin tertulis dari
Penerbit.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Syair-syair Kehidupan Anggi Putri
Seperti
kita ketahui bahwa puisi
memiliki keunikan dalam pemaparan bahasa yang indah dan luwes sebagai cara mengungkapkan berbagai masalah kehidupan sehari-hari. Sebab
hidup masih berjalan. Sebab kita bukan hidup dalam bayangan keberhasilan selain
menjalankannya. Lalu
kenapa kita harus menulis ? mari kita coba jabarkan, pertama dalam kehidupan, tak ada perubahan
peradaban yang tak disokong dunia penulisan. Tentu saja tak ada tulisan bermutu
baik tanpa dibarengi kebiasaan membaca tulisan yang bermutu baik pula. Dan Anggi sudah mencoba terjun langsung di
dunia kepenulisan ini, karena kebetulan Anggi kuliah di fakultas Sastra. Dan seperti yang kita ketahui bahwa tak ada
guru yang mampu menjadikan kita menjadi penulis hebat selama kita sendiri tak punya
keimanan yang kuat untuk terus-menerus menulis.
Bahwa Anggi yang begitu gigih menulis puis saat usianya masih muda
adalah sebuah jawaban untuk tantangan itu.
Membaca
kumpulan puisi ini saya seperti membaca sebuah buku harian seorang gadis remaja
yang sedang tumbuh mekar, yang punya
banyak mimpi dalam hidupnya seperti kata-kata yang dicantumkan dalam buku ini “Embusan asa meniti mimpi” dan luar
biasanya hampir setiap waktu yang berlalu
di tulis dengan indah oleh Anggi
Putri seorang perempuan muda yang telah begitu bagus menulis
puisi-puisinya.
Puisi memang selalu menawarkan daya tarik berdasarkan diksi dan
imajinasi penulis yang mengayun-ayunkan perasaan. Setiap puisi tentu saja harus
terdapat diksi, yakni pilihan kata yang dilakukan oleh penyair. Dan Anggi telah mencoba memilih kata-kata
untuk mengekspresikan pengalaman dan perasaannya ke dalam beberapa puisinya. Seperti salah satu puisinya yang berjudul
hati,
Aku
dan hati kamu
senja
menempel di karang terjal
sebuah
siluet membeku membayang
saat
burung-burung pulang ke sarang
sepasang
mata elang tertinggal
nyalang
dan tersengal
entah
lah
Judul: HATI
Saya membaca dan mengamatinya sebagai sebuah keindahan
yang di sodorkan oleh penulisnya,
seperti kalimat “Aku dan hatimu
menempel di karang terjal”, menunjukkan betapa kuatnya cinta saat dua hati yang
bersatu. Seperti pada puisi Secangkir Muara Rasa yang ditujukan
pada seseorang.
SECANGKIR MUARA RASA
: Nasta’in Achmad Attabani
Jejak malam yang tersapu oleh sabda bintang
Tak mampu
terjaga
Cecapi tiap
denting waktu yang kian lama tergilas masa
Dingin
menggelatuk, menyesakkan dada
Tengadah bulir
mutiara terjatuh
di atas sajadah
Lautan kenang
tergenang di antara kisah
Ketika itu aku meneguk secangkir rindu bermuara
Turun dari renik matamu yang terbalut sunyi
mematahkan
ritual imaji
Gusti, aku
sendiri memuji
: detik ini
Terciptalah puja
suci yang memuisi
Surabaya,
13 Januari 2015
Sayap Kata, edisi 16 Januari 2015
Lalu
pada puisi berikutnya, tak hanya keindahan cinta yang mendayu-dayu tapi di
puisi ini bagaimana kita bisa melihat dan merasakan Anggi meluapkan
kemarahannya.
Bagaimana jika api amarah melahap diri tanpa sisa
Bahkan sajak ini pun ikut lebur bersama pekatnya jelaga
luluh-lantah hingga tiada kan tahu arah
merantau lama dalam ketiadaan
Tak puaskah merajut duka samsara dalam linang airmata
yang mengubur dalam kedamaian dalam jurang kekecewaan semata
bahwa yang terukir tinggallah sisa-sisa
: ampas dunia
kesendirian yang menentang segala,
mengadu penuh pertentangan dan wicara hati yang bungkam
tiada arti, tak terdengar dalam kelopak mimpi
metamorfosa tak bergulir lagi
membakar bait-bait lama yang tiada bertepi
puisi ini pun meruang dan memakan hati
Surabaya, 9 Oktober 2014
9:55 WIB
Bahkan sajak ini pun ikut lebur bersama pekatnya jelaga
luluh-lantah hingga tiada kan tahu arah
merantau lama dalam ketiadaan
Tak puaskah merajut duka samsara dalam linang airmata
yang mengubur dalam kedamaian dalam jurang kekecewaan semata
bahwa yang terukir tinggallah sisa-sisa
: ampas dunia
kesendirian yang menentang segala,
mengadu penuh pertentangan dan wicara hati yang bungkam
tiada arti, tak terdengar dalam kelopak mimpi
metamorfosa tak bergulir lagi
membakar bait-bait lama yang tiada bertepi
puisi ini pun meruang dan memakan hati
Surabaya, 9 Oktober 2014
9:55 WIB
Inilah yang saya maksud bahwa menulis adalah mengumpulan
serpihan-serpihan. Dan serpihan itu
adalah kata, kadang mewujud dalam bentuk kekecewaan seperti erosi tanah atau
mungkin abrasi pantai yang mengikis ruang dan waktu. Maka muncullah pemberontakkan yang
melompat-lompat. Atau mungkin terasa seperti sebuah bola salju yang
menggelinding dan terus berputar. Namun
di sela itu terkadang terjadi kesenjangan jiwa, perasaan yang terus saling
bertikai saling menyalahkan lalu terbenam dalam dendam yang membakar. Inilah kemudian yang memunculkan kecewa dan
mimpi-mimpipun terangkai dengan indah. Lalu semua berakhir pada
sang Pencipta. Seperti contoh puisi berikut yang menuliskan tentang cintanya
pada Sang Maha.
MUARA CINTA
cinta
Cinta
CINTA
perasaan
terhalus dari jiwa yang mengingat tentang asal muasalnya
candu yang tak
pernah habis tergilas masa
: melesak dalam
dada
Ku cium-Mu di
penghujung mimpi
sepi menabur
duka
waktu menyemai
luka
Lantas apakah
makna hidup ketika semua jalan tertutup airmata?
Gulana paling
purba pun samsara paling tua
lantas kau
berkata,
Kau sesap
airmata sumber yang mana dari mata air-mata
air nestapa?
Rindu itu
berwujud rapalan puja
di sepertiga
malam berkembara
mengucur bersama
air yang kubasuh di permukaan muka
bermandikan
ayat-ayat suci di dalamnya
Aku memandang
lemah,
tentang
suka-duka semesta
repih-repih
tepian asa
: beradu jua
Masih tercekat
kata dalam relung pikirku,
Siapakah Muara
Cinta?
Maha Cinta
Adalah Kau
semata
: Tuhanku
Surabaya, 6 Desember 2014
Puisilah
yang menempatkan diri sebagai media curahan hati bagi penyair, dengan tidak melupakan bahwa puisi tetaplah
puisi yang mempunyai aturan baku yakni adanya metafora dan diksi. Termasuk
mengolah imaji dan menuliskannya dengan hati.
Maka Ilmu bermanfaat itulah di perlukan bahwa seorang penyair wajib memiliki
kepekaan terhadap apa yang terjadi di sekitar, atau bacalah alam lalu kita akan
merasa dituntut menyampaikan liputan perjalanan agar bisa menggugah pembaca.
Atau bahkan mengharuskan membuat sebuah wacana perenungan yang dalam.
Begitulah. Dengan indah Anggi Putri mengajak kita
semua menikmati buku kumpulan puisinya yang diolah dari perasaan dan pengalaman
hidupannya. Tentu saja doa kita semua
Anggi telah lahir menjadi penyair yang kreatif yang akan
menghasilkan banyak karya lagi dengan wacana puisi yang khas, dan dengan demikian
memiliki daya tarik tersendiri. Akhirnya selamat membaca puisi-puisinya yang
tersaji dalam buku ini.
Rini Intama ( Penulis, Pendidik, Penggiat seni sastra )
0 komentar :
Posting Komentar