JEJAK ITU, KEKASIH ….
jejak itu, kekasih
membekas di dada dan nyanyiannya menggema
menggemaskan!
pernah kutangkap dan kutangkup gelinjangnya,
luput dan larut dalam kopi hitam langit malam
jejak rindu itu berenang di secangkir kopi,
melambai-lambaikan tangan kasmaran
kupandangi saja, kurenangi kedalamannya
wangi kopi yang mengombakkan jejak rindu
dan aku turut merenangi waktu hingga subuh
melepuh
dan mengaduh—mengadu kepada-Mu
jejak rindu itu masih lekat
di dinding hati, semakin berdegup
saat merinding menyebut nama-Mu
Kekasih
Sajak dengan judul “Jejak Itu, Kekasih…” merupakan
monolog si aku kepada kekasihnya. Parafrasenya sebagai berikut.
Jejak rindu
(kenangan yang membuat rindu) kepada kekasih (orang yang dicintai) masih
membekas di dada, seolah jejak rindu itu berwujud nyanyian yang menggema,
memadati diri si aku. Si aku selalu terngiang akan kenangan tersebut sehingga
terus merindukannya, menginginkan perulangan peristiwa yang demikian.
Si aku pernah
mengingat kenangan mengesankan tersebut hingga si aku larut dalam waktu ketika
melalui peristiwa-peristiwa mengesankan bersama kekasihnya itu. Bahkan
mengingat peristiwa itu hingga waktu berganti malam, ketika si aku menyeruput
kopi. Kopi adalah minuman yang sering bahkan setiap hari diminum oleh kaum
lelaki, sehingga ia mengingat peristiwa mengesankan itu setiap hari hingga hari
menunjukkan malam seperti seringnya si aku minum kopi.
Jejak rindu
(kenangan mengesankan) bersama kekasihnya itu terus diselami, terus diingatnya,
dibayangkan seluruh peristiwa ketika si aku mengalami kasmaran kepada
kekasihnya. Seolah kenangan itu melambai-lambaikan tangan, mengajak si aku
terus dan terus mengingatnya. Kenangan itu tak mau pergi dalam pikiran dan
batin si aku.
Ketika si aku
menghirup wangi aroma kopi, si aku selalu teringat kepada kenangan itu. Si aku
menenggelamkan dirinya untuk terus merenangi waktu, setiap detik ketika bersama
kekasihnya hingga tak disadarinya subuh tiba. Hingga si aku memutuskan untuk
mengadu kepada Allah (Tuhan) dalam shalat subuhnya. Si aku mengutarakan semua
‘unek-unek’ kepada Tuhan, muara segala muara.
Meski sudah
mengadu kepada Tuhan, si aku terus teringat kenangan itu, bahkan kenangan itu
lekat dalam hatinya. Si aku merasakan jejak rindu (kenangan) itu semakin lekat
dan si aku merinding ketika menyebut nama Tuhannya. Tuhan diantropomorfkan,
diwujudkan sebagai manusia, dikiaskan sebagai kekasih, adalah salah satu cara
untuk membuat pathos, yaitu
menimbulkan simpati dan empati kepada pembaca hingga ia bersatu mesra dengan
objeknya (Budi Darma, 1982:112), hingga pembaca dapat turut merasakan yang
dirasakan penyairnya. Begitu juga pengiasan-pengiasan lain untuk menimbulkan pathos kelihatan dalam sajak itu,
seperti berikut.
Metafora: ‘jejak
itu, kekasih’. Di sini kenangan dikiaskan sebagai jejak yang membekas di dada
dengan demikian kenangan itu tak bisa dilupakan.
pernah kutangkap dan kutangkup gelinjangnya,
luput dan larut dalam kopi hitam langit malam
Kenangan luput
dan larut dalam kopi hitam langit malam,
selain gambaran terang juga memperjelas gambaran si aku tiada henti mengenang
peristiwa indah bersama kekasihnya.
Begitu pula
kombinasi personifikasi: ‘melambai-lambaikan
tangan kasmaran’, seperti mengajak si aku untuk tidak beranjak pergi. Memanggil
si aku untuk terus mengenang peristiwa itu.
Metafora
‘subuh melepuh’ mengiaskan si aku sampai tak sadar akan waktu yang terus
berjalan hingga subuh tiba pun si aku tidak menyadarinya.
Dalam
sajak “Jejak Itu, Kekasih ….” Secara struktural dipergunakan sarana kepuitisan
untuk mendapatkan dan memperkuat efek secara bersama-sama. Dalam sajak ini
dipergunakan kepuitisan diantaranya kiasan seperti yang telah terurai di atas dan
dikombinasikan corak kosa kata, citraan, sarana retorika, dan keselarasan bunyi
yang semuanya. Perulangan bunyi seperti: vocal u-u member efek semakin rindu,
sedangkan aliterasi t-t menambah intensitas arti larut itu. Begitu juga: luput dan larut dalam kopi hitam
langit malam (bait 2), adanya vokal I dan aliterasi t-m membuat liris, begitu
pula dalam: dan mengaduh—mengadu kepada-Mu.
Citraan
dalam sajak “Jejak Itu, Kekasih ….” dipergunakan untuk membuat gambaran segar
dan hidup, digunakan sepenuhnya untuk memperkaya dan memperkuat.
Citraan
pendengaran (sound image), jejak itu,
kekasih/membekas di dada dan nyanyiannya menggema/menggemaskan!; pendengaran
itu ditandai dengan bunyi a, seolah terdengar nyanyiannya menggema. Citraan
yang sama terdapat juga pada larik: jejak rindu itu masih lekat/di dinding
hati, semakin berdegup. Pendengaran atau suara ditandai dengan bunyi p, seolah
terdengar semakin berdegup dalam dinding hati.
Citraan
gerak (kinaesthetik image): jejak
rindu itu berenang di secangkir kopi,/melambai-lambaikan tangan kasmaran; gerak
itu ditandai dengan bunyi g diperkuat bunyi n, seolah jejak rindu berenang dan
melambaikan tangan mengiaskan kenangan yang tak bisa hilang dalam ingatan.
Citra
rabaan (tacktile/thermal image) dipergunakan
dalam: pernah kutangkap dan kutangkup gelinjangnya, (bait 2).
Ternyatalah
dari analisis di atas bahwa sarana-sarana kepuitisan bahasa “Jejak Itu, Kekasih
….” Sangat kompleks, jalin-menjalin membentuk jaringan efek yang kaya,
memberikan gambaran yang hidup dan segar.
***
0 komentar :
Posting Komentar