Dedaunan di pekarangan Rumah Sakit Umum kian basah.
Hujan tak jua reda. Sesekali lelaki itu menengok keluar ruangan. Ia termangu di
daun jendela sembari menyeruput secangkir kopi panas. Hari-hari melelahkan
telah terlampaui.
“Ah, rasanya baru kemarin kakiku
menginjak ruangan ini,” gumam lelaki itu sembari mengulas senyuman. Kini
pikirannya tak lagi ada di sana. Bayangan masa silam kembali meracau otaknya.
Di tengah gerimis, bocah jalanan
bertubuh kurus berjalan tanpa alas kaki sambil mengetuk-ngetuk gerahamnya
karena kedinginan. Jaket yang menyelimuti tubuhnya tak lagi menyimpan
kehangatan. Tenggorokannya kian kerontang. Keadaan di bawah jembatan juga sepi
senyap. Tempat menimba ilmunya itu tak lagi ramai seperti pagi hari.
“Tunggu, Nak!” Langkahnya terhenti.
Seorang lelaki tua turun dari mobil dan menghampirinya.
“Mana rumahmu?”
“Saya tidak punya rumah. Biasanya
saya belajar sekaligus tinggal di bawah jembatan itu,” ucapnya sembari menunjuk
jembatan yang berukuran raksasa di ujung jalan.
“Kamu mau jadi anak Bapak? Kamu
boleh tinggal bersamaku. Di rumah hanya ada aku dan si Pussy, kucingku. Istriku
telah meninggal dua tahun lalu.”
Dengan polosnya bocah lelaki itu mengiyakan
ajakan orang yang baru dikenalnya. Dari penampilannya sepertinya dia
terpelajar. Rapi dan sopan. Bocah itu tersenyum seusai melirik stetoskop di saku jas lelaki tua,”
Beliau Dokter.”
***
Masih dilihatnya darah yang
membasahi sebagian badan jalan. Di tepi sudah dikerumuni massa yang membantu
membersihkan serpihan-serpihan kaca mobil yang berserakan. Sedang Dokter Ferry
masih terpaku melihat seorang mayat yang digotong menuju ambulance. Kakinya mengalami patah tulang dan detak jantungnya
semakin melemah.
Beberapa saat secangkir air mata
hangat bercucuran membasahi pelipis lelaki muda itu. Suara sirine ambulance semakin membuatnya takut.
Ketakutan itu kian bertambah ketika sudah berada di rumah sakit.
Tubuh lelaki tua itu semakin
melemah. Matanya tak kunjung terbuka. Beberapa tim medis berusaha sekuat tenaga
untuk menyelamatkan nyawanya.
“Kumohon, bangunlah,” ucap Dokter
Ferry di sisa tenaganya. Sedang di luar ruangan terlihat seorang wanita dengan
wajah gelisah. Ia juga mengkhawatirkan seseorang di dalam sana.
“Ferry ...” panggil lelaki tua
dengan nada suara rendah.
Dokter Ferry menggenggam tangannya
erat. Seakan ia tak ingin kehilangan sosok yang ada di depannya dalam waktu
lama. Ia begitu mencintainya.
“Maafkan Ayah ... jaga istrimu
baik-baik. Tak ada yang Ayah banggakan kecuali ka-mu ....” Setelah mengatakan
demikian, napas lelaki tua itu sudah tidak ada. Pupus harapan Dokter Ferry
untuk menghabiskan hidup bersama sosok yang dipanggilnya dengan sebutan Ayah.
“Selamat jalan Ayah, aku
mencintaimu,” diciumnya kening lelaki tua yang sudah terbujur tak bernyawa itu
dengan penuh kasih sayang. Seusai itu, Dokter Ferry keluar ruangan dengan hati
yang teriris-iris.
“Tabahkanlah hatimu, Mas,” ucap
wanita yang sedari tadi menunggu di luar ruangan. Matanya pun berkaca-kaca dan
ia tak bisa membendung tangisnya ketia Dokter Ferry mendekapnya.
“Ayah telah meninggalkanku, Vi.”
“Ayah akan bahagia di surga,” timpal
Vivi, istrinya.
Di hari yang sama, Ayahnya
dimakamkan. Titik-titik air mata kehilangan masih menyelimuti Dokter Ferry.
Ia amat mencintai sosok Ayah angkatnya
itu. Di usia kecilnya ia bisa mendapat kasih sayang dari seorang Dokter yang
tidak memiliki siapa-siapa dalam hidupnya. Dan cintanya ... akan terkenang
sepanjang masa. Pahlwan hidupnya, Ayahnya.
***
0 komentar :
Posting Komentar