Jumat, 14 Desember 2018

Lena - Part 1



Hai, sobat fiksi. Lama sekali blog ini tidak mencecap tulisan fiksi. Ah, jadi merasa bersalah. Blog ini serupa rumah, namun masih banyak yang harus dibenahi dan saya ingin mulai rumah ini banyak dikunjungi oleh teman-teman yang menikmati cerita saya. Ini adalah usaha saya untuk memaksa diri sendiri lebih produktif lagi. Semoga bisa, ya. Kali ini saya akan menulis tulisan bersambung. Bismillah.



------
Diam. Tak ada hal yang lebih menarik selain mencerna kata-katamu. Aku tak ingin menyela sedikit pun, biar kau tuntaskan segala cerita yang ingin kau bebaskan dari tempurung kenangan. Aku tak keberatan.

Kau masih bercerita dengan panjang lebar. Aku hikmat menyeruput secangkir americano yang bagimu terasa classic and basic. Lagi, aku tak peduli. Bagiku, semua kopi itu sama, rasa yang bercampur menjadi sebuah interpretasi dari penikmatnya. Bisa saja kau menyebutnya asam, tapi aku boleh jadi menyebutnya pahit. Tak ada yang salah, kita benar-benar tak salah. Bukankah di dunia ini salah dan benar sudah menjadi abu-abu? 

Kau tertawa sambil memegang dagu yang bersih, baru dicukur dua hari lalu. Aku masih hikmat menatapmu, mencerna setiap frasa yang kau utarakan dengan sangat berat.

"Lalu, setelah ini kau kemana?" tanyamu, aku terdiam. Entah jawaban apa yang tepat agar bisa membuat hatimu lega. Napasku mulai sesak, aku tak kuat untuk berbicara lebih panjang. 

"Berkelana adalah hal terbaik untuk saat ini, kau jangan melarangku," balasku sembari menatap tajam tepat di pupil matamu. Berharap kau tak akan meninggalkan kedai kopi ini.

"Baiklah, semua pilihan adalah terbaik, setidaknya bagimu. Selanjutnya takdir yang akan menentukan. Kau jangan khawatir, aku akan tetap di sini. Menunggumu untuk menyeruput kopi buatanku lagi," katamu sambil tersenyum hambar. Aku semakin tegang, kulihat kau kecewa, entah perasaan yang pantas atau tidak saat ini padaku. Aku hanya memilih diam dan segera menghabiskan kopi di gelasku.

"Kau baik-baik saja?"

"Menurutmu? Tak ada hal paling menyenangkan dari sebuah kebebasan, bukan?"

***

-----
Komen dong apakah perlu aku lanjut?

0 komentar :

Posting Komentar