Kamis, 12 Mei 2016

Mengantar Jihan Menjadi Juara

Kali ini saya akan bercerita sedikit tentang pengalaman saya awal Mei 2016 yang luar biasa. Awalnya saya sedikit ragu ketika Pak Nur Mukhlis, suami Bu Yaya pemilik rumah baca Daanish Aniq menginbox bahwa tanggal 5 Mei akan ada Ajang Mencari Bakat Yatim se-Kab Jombang. Beliau mengatakan kalau dua orang anak di rumah baca adalah anak yatim dan sudah sewajarnya kita mengikutkan mereka dalam ajang ini. Dan yang membuat saya terkejut untuk kedua kalinya, Pak Mukhlis menyuruh saya mengajari mereka untuk membaca puisi.




Sebenarnya gampang-gampang susah, saya sering sebenarnya membaca puisi, sejak SD sudah ikut lomba baca puisi tingkat kecamatan, membawakan puisi saat perpisahan kelas 6 SD, juga ketika SMP. Ditambah tampil di beberapa acara sastra, seperti pembukaan KPKers Surabaya, di kelas juga sering, di Islamic Book Fair, dan terakhir kemarin ketika bincang-bincang sastra di bumi Bung Karno.



Namun hal itu seolah belum cukup. Banyak orang yang memang mahir di bidangnya namun ketika disuruh untuk menyampaikannya kembali kepada orang lain, ia justru bingung dan kurang menguasai cara pengajaran yang baik. Sebagai contoh kecil saja, teman saya Alfa Anisa seorang penyair tetapi ia sering bingung untuk mengajari puisi rekan-rekan sejawatnya.

Akhirnya saya menerima permintaan Pak Mukhlis dan menyanggupi.untuk mengajar tanggal 1 Mei. Saya sedikit khawatir melihat tanggal sudah dekat dan persiapan belum matang. Kekhawatiran lain timbul saat saya meresahkan bagaimana suara sang anak, bagaimana teknik dia membaca, dan pertanyaan bagaimana sudah memadati tempurung kepala.

Akhirnya di tanggal 1 Mei pukul 14:00 WIB saya datang ke rumah baca meski tanpa Bu Yaya di sana karena beliau ada acara ke Surabaya. Keberangkatan pun tidak begitu baik karena ada orang meninggal sehingga jalan menuju rumah baca ditutup dan saya terpaksa memutar dengan diantar seorang anak kecil yang tak saya kenal.

Marifah, anggota komunitas RAJ yang sebelumnya mau membantu saya mengajar ternyata berhalangan datang. Mau tidak mau saya harus sendirian mengajar. Saya membagi di dalam untuk kelas menulis dan di luar untuk latihan baca puisi. Kenapa? Karena baca puisi memang perlu di luar agar mengetahui tingkat suara yang dimiliki. Semula dari dua orang tinggal satu orang yaitu Jihan yang akan latihan baca puisi dikarenakan Lita sakit.

Saya bolak-balik ke dalam dan keluar mengajari mereka semua. Kalau tidak salah waktu itu sekitar 22 orang yang hadir ikut kelas menulis. Saya sudah menyampaikan hal-hal yang perlu dipahami dan dilakukan Jihan saat di panggung. Saya juga menyarankan agar dia banyak berlatih di rumah karena kita tak bisa latihan intensif terhalang jam kuliah saya, dan tak bisa bolak balik Surabaya-Jombang.

Akhirnya saya hanya bisa berdoa. Hari H tiba,tiba-tiba di rumah tidak ada motor untuk saya berangkat. Saya mulai panik karena bagaimanapun Jihan sudah minta untuk ditemani dan melakukan sekali gladi bersih. Saya membuka ponsel dan menghubungi nomor Marifah. Untungnya ketika itu dia tak ada acara sehingga bisa saya ajak untuk menemani Jihan. Saya berangkat tergopoh-gopoh karena dari jadwal awal acara dimulai pukul 09:00 diajukan pada pukul 08:00.


Sesampainya di sana, saya melihat banyak sepeda onthel dan banner hijau sudah terpampang nyata. Saya merasa ada sedikit kekeliruan. Akhirnya saya menyadari kami (saya dan Marifah) salah kostum. Acara religi banget sedangkan saya dan Ifa memakai jeans.

Tapi lima menit kemudian Bu Yaya datang dan mengantar saya masuk ke tempat acara. Sekilas saya melirik jumlah peserta yakni 57 peserta. Saya terkesiap, bisa sampai sore kalau seperti ini dan Jihan sendiri mendapat urutan ke-27. Saya menyuruhnya untuk gladi sekali lagi sambil mengamati beberapa peserta yang tampil kemudian menganalisis kesalahan peserta lain dan memberitahukannya ke Jihan. Hal ini berguna untuk evaluasi diri bahwa kesalahan mereka tak perlu diulang.

Bu Yaya pamit ke Pare saat peserta nomor 14 maju ke atas panggung. Saya dan Ifa tetap menonton hingga selesai. Jihan mendapat giliran maju, ia sempat menatap saya sejenak dan saya menganggukkan kepala.


Penampilannya natural dan tidak dibuat-buat. Pada puncak puisi ia sangat enerjik sehingga membuat semua penonton dan juri melongo. Saya bertepuk tangan dan terus menyemangatinya.

Ketika pengumuman, juri memanggil juara ketiga, kemudian kedua. Saya was-was ketika nama Jihan belum ada di daftar tersebut.

"Dan juara pertama adalah nomor dada dua puluh..."
"Tujuh... tujuh... harus tujuh," gumam Ifa sembari berdoa. Saya pun antusias menunggu kalimat yang diucapkan juri.
"Ya, juara pertama nomor dua puluh tu.. juh ."

Saya kaget dan sangat bersyukur, terlihat Jihan juga sangat kaget. Sebelum maju ke panggung, ia sempat menatap saya lagi. Dan saya mengangguk menyuruhnya maju ke depan. Saya mencari Pak Mukhlis yang entah kemana. Namun beberapa saat muncul dan memfoto kami di atas panggung. Beberapa guru pengantar kaget bahwa sayalah yang menjadi pelatih baca puisi Jihan. Saya hanya tersenyum kepada mereka. Mungkin saya penampilan saya kurang meyakinkan, hehe tapi saya cuek saja namanya juga seniman.


"Terima kasih, Kak," bisik Jihan kepada saya. Saya tersenyum dan mengangguk. Ini sungguh keajaiban. Saya tidak menyangka ekspektasi yang saya tanamkan menancap sedalam ini hingga mengantar Jihan sebagai sang juara pertama.

Thanks God...
Semua hanya karena-Nya dan kerja keras.

0 komentar :

Posting Komentar