Malam makin temaram. Bintang
yang tersebar dalam bentang cakrawala masih menyisakan wujudnya.
Sepi itu mendarat pada
bilik yang hanya dihuni oleh satu orang. Ia masih terjaga dalam mimpinya.
Kesunyian sesekali mulai terganggu dengan suara nyanyian burung di samping
pekarangan rumah.
Geliatnya dalam tidur
terlihat perlahan-lahan, bagai desir napas bayi yang baru dilahirkan dari rahim
ibunya. Kemudian kembali senyap, tak ada keriuhan lagi. Sunyi dan gelap sudah
berpadu menjadi satu kesatuan unsur yang tak terpisahkan.
Seseorang menikmati
istirahatnya, mengunjur di atas ranjangnya. Tiada terasa penat yang
menggerayangi tiap jengkal otot lurik kakinya, napasnya turun-naik secara
teratur. Kini yang ada di hadapannya hanyalah bendang hijau yang terbentang
dengan jagung-jagung menguning dan sayur-mayur segar. Seorang petani tua
mengairi bendang dengan penuh kesabaran. Sedang di sisi kiri bendang telah
berdiri anak lelaki yang mencermati setiap gerakan bapaknya itu.
Anak itu tersenyum
sembari menggerakkan tangannya memutar, mengisyaratkan agar bapaknya memberi
minum semua tanamannya dengan sama rata. Sebuah keadilan yang sudah didapatnya
itu sengaja diterapkan pada anaknya. Si anak pun memperhatikan pekerjaan
bapaknya sembari berteriak,”Sebelah sana, Pak. Ya, sebelah itu juga!”
Sekonyong-konyong
terdengar suara kokok ayam yang cukup kencang, membuat seseorang itu
membuyarkan semua mimpinya tentang anak lelaki kecil dan bapaknya.
Namun ia tak kunjung
beranjak, dilanjutkan lagi tidurnya. Di luar sudah penuh gemerisik bunyi,
seperti suara bakul yang berteriak
menjajakan dagangannya. Ada bakul tempe,
bakul bumbu, hingga tukang isi korek
api.
Tutur yang perlahan,
sekali-kali dan terputus-putus. Rupanya orang dagang sudah pergi mencari rezeki
seperti tiap-tiap hari. Sejurus kemudian, terdengar suara yang keras, yaitu
suara adzan di surau berseru kepada semua hamba Allah agar bangun dan sholat
subuh.
Jalan setapak di depan
rumah sudah mulai ramai, bunyi kendaraan bermotor sudah berkali-kali
mendengung.
Namun orang itu
memperbaiki posisi selimutnya yang mulai tersingkap. Hawa dingin sudah terasa
menusuk kulitnya. Kembali dimampatkan tubuhnya pada bantal guling yang ada di
samping kirinya. Ia hendak tidur kembali dan lebih nyenyak dari yang
sebelumnya.
Malam pun telah binasa
dilahap sang mentari pagi. Cahaya yang menyibak celah-celah jendela masih
terlihat pucat pudar, belum mampu melenyapkan gelap sepenuhnya.
Siang! Bangun! Bangun!
Seketika terdengar
suara dalam rumah itu. Suara yang tidak asing di telinganya. Ucapan itu
disahuti oleh suara lain yang agak samar kedengarannya. Anak-anak sudah beranjak dari ranjangnya dan
lelompatan menuju ke kamar mandi. Salah seorang darinya masuk ke dalam bilik yang
ada paling depan dalam rumah.
“Pak, bangun! Hari
sudah terik,” serunya kepada lelaki yang masih berada di atas ranjangnya.
“Iya....” gumam lelaki
itu dalam selimutnya. Setelah mendapat jawaban, anak itu keluar dan segera
menyambar handuknya yang ada di jalan menuju dapur. Ia bergegas mandi.
Sedangkan lelaki itu
mulai mengumpulkan kekuatan untuk beranjak dari lelapnya. Ia pun duduk
bersandar pada tembok kamar. Kemudian ia melipat kain selimut yang dikenakannya
dan meletakkannya tepat di atas bantal. Ia berjalan keluar, tetapi tidak
langsung ke kamar mandi, melainkan duduk di sebuah kursi rotan yang ada di
teras rumah. Di meja sudah siap secangkir kopi dan sepiring kecil pisang goreng
buatan istrinya.
Disambarnya koran edisi
hari ini dan tangannya mencomot satu potong pisang goreng. Meski jarum jam
terus berputar, lelaki itu tak peduli bahwa hari sudah siang.
“Sekarang sudah jam
setengah tujuh, Mas. Nggak mandi? Vina dan Rika sudah ada di meja makan siap
untuk sarapan,” ucap suara seseorang yang baru saja keluar dari pintu rumah.
“Biarkan mereka sarapan
dulu. Aku masih membaca koran, Ni,” jawab lelaki itu pada istrinya. Perempuan
bernama Warni itu pun melenggang meninggalkan suaminya yang sedang ngopi.
Warni adalah perempuan
yang dulu dijuluki sebagai bunga desa. Pesona keanggunan perempuan itu mampu
membuat banyak lelaki tertunduk kagum. Meski pendidikan yang ditempuhnya hanya
sampai jenjang Sekolah Menengah Atas, perempuan ini menjadi incaran banyak kaum
adam di desanya. Bapaknya yang menjabat sebagai lurah, tidak serta-merta
memberikan restu kepada lelaki yang ingin menikahi putrinya.
Hingga lamaran itu
dibawa lelaki yang bernama Sukraman, anak pemilik tambak terbesar di desanya.
Bapak Warni pun menerima pinangan lelaki itu lantaran alasan kebutuhan ekonomi
anaknya akan tercukupi.
“Bu, kok ngelamun?”
ucap Vina mengagetkan perempuan itu. Anak sulungnya itu memang terlihat sangat
dekat dengannya. Semua yang dirasakannya seakan diketahui oleh Vina.
“Sudah lanjutkan
makannya, sudah jam berapa ini, Nduk?”
“Inggih, Bu.”
Vina dan Rika menyantap
hidangan sarapan dengan lahap. Sementara Vina menyantap makanan yang ada
dihadapannya dengan menggunakan tangan atau orang jawa biasa menyebutnya dengan
istilah ‘puluk’, Rika lebih memilih makan dengan menggunakan sendok. Suara
gesekan sendok dan piring kaca memekakkan telinga Warni.
“Nduk, kalau makan jangan bersuara. Ora ilok! Nanti bisa dirusuh sama setan.
Kalau mengecap makanan mbok ya jangan
seperti itu, mirip sapi kamu,” omel Warni kepada Rika.
“Mesti aku saja yang
dimarahi. Mbak Vina saja tidak pernah,” bantah Rika dengan memanyunkan
bibirnya.
Setelah sepuluh menit
berlalu, kedua anak Warni itu berpamitan untuk berangkat sekolah. Diciumnya
kedua tangan orangtuanya dan mengucapkan salam.
Sukraman menatap meja
makan dengan menggeleng-gelengkan kepala. Ia mendapati remah-remah sisa makanan
yang tercecer di atas taplak meja. Sedangkan dua piring bekas makan Vina dan
Rika masih berada di sana.
“Lihat! Anak-anakmu
kalau makan berantakan. Apa tidak ada menu lain yang tersaji? Bukankah kemarin
kita sarapan tempe, tahu, dan perkedel kentang. Sekarang pun sama,” kata
Sukraman kepada Warni. Wanita itu hanya membatin, tidak berani menyahuti
perkataan suaminya. Karena baginya melawan suami hanyalah akan menumpuk dosa.
“Iya, akan aku
bereskan. Berapa uang yang Mas berikan padaku? Lembaran rupiah itu hanya cukup
untuk menyediakan ini di atas meja. Mas harus menerima. Toh, aku tak kau
perbolehkan untuk bekerja.”
“Ya, untuk apa kamu
bekerja? Seorang perempuan desa yang sudah menikah harus berada di rumah,
mengurus rumah tangga,” timpal Sukraman sembari menyantap sepiring nasi dengan
lauk tempe dan tahu yang telah dicecarnya beberapa menit yang lalu.
“Itu teori kolot! Mana
ada di zaman sekarang teori seperti itu, Mas. Bahkan sampean tidak tahu sering kali besar pasak daripada tiang. Aku
hanya berdiam diri dan tidak protes sama sampean.
Karenanya, sampean pun janganlah
protes,” ucap Warni sembari membereskan piring kedua anaknya.
“Itu tugasmu...
mengatur semua. Mulai dari teras rumah hingga ke tungku dapur.”
Enak
benar kalau ngomong. Pendapatan yang tak seberapa saja selalu jadi bahan
perdebatan. Rasanya aku ingin kerja, kasihan nanti Vina sama Rika, batin Warni
penuh rasa bersalah telah salah memilih Sukraman dan meninggalkan Yadi,
pacarnya dulu.
Setelah
nasi di piringnya tak bersisa sebutir pun, Sukraman bergegas mandi. Sepuluh
menit selanjutnya ia sudah berpakaian rapi dan siap untuk berangkat bekerja.
Sukraman merupakan karyawan salah satu PT kecil dalam bidang otomotif. Ia
bertugas sebagai sopir yang mengantarkan mobil kepada konsumen. Namun terkadang
sifat angkuhnya membuat sang istri kerap kali jengkel. Ia berlagak layaknya
orang berada, meski Warni menyadari kondisi ekonomi keluarganya tidaklah
seburuk tetangganya, namun sifat Sukraman dinilainya kurang layak untuk ditampakkan.
*
“Kamu kenapa toh, Nduk?” tanya seorang wanita yang ada di
hadapannya.
“Tidak, Bu. Apakah
Warni salah jika ingin bekerja?”
“Lho, memangnya kenapa
tiba-tiba ingin kerja? Kamu butuh duit, Nduk?”
tanya ibunya dengan penuh kekhawatiran. Warni hanya tertunduk lesu di depan
ibunya. Air mata yang lama dibendungnya sejak berjalan dari rumahnya sampai ke
rumah orangtuanya itu akhirnya tumpah juga.
“Setidaknya bukan untuk
sekarang, Bu. Warni butuh untuk masa depan Vina dan Rika,” ucap Warni dalam
pelukan ibunya. Sang ibu hanya mengelus puncak kepala ibu dari dua anak itu.
“Sukraman tidak
menafkahimu, Nduk? Sudahlah. Kamu
butuh duit berapa?” Warni melepaskan pelukannya. Ia menatap lekat mata ibunya
sembari mengumpulkan kekuatan untuk berkata yang sebenarnya.
“Menafkahi memang
masih, Bu. Tapi pendapatan Mas Sukraman tidaklah cukup membuntu uang sekolah
anak-anak, masalah di dapur, dan juga urusan lainnya. Warni ingin kerja saja,
setidaknya bisa untuk menutup lubang-lubang yang ada.”
“Semua adalah
pilihanmu. Ibu hanya nganut sama kamu. Toh, kamu sudah dewasa dan pasti bisa
memilah dan memilih keputusan yang tepat.”
*
Hari rupanya cukup terik. Matahari tersenyum manis pada
burung-burung yang bertengger di dahan pohon mangga. Pun tawa riuh anak-anak
yang akan berangkat sekolah memudarkan tiap kelasah dalam hati Warni. Perempuan
itu sudah siap dengan setelan seragam barunya. Beberapa minggu yang lalu ia
telah melamar di sebuah swalayan tak jauh dari tempatnya tinggalnya. Meski ia
hanya diterima sebagai kasir karena minimnya jenjang pendidikan yang ia tempuh,
semua itu tak menyurutkan semangat perempuan itu untuk bekerja.
Adu mulut jelas terjadi
antara Warni dan Sukraman sebelum perempuan itu berangkat ke tempat kerja.
“Ngapain kerja! Lalu
siapa yang akan mengurus rumah dan anak-anak?”
“Aku! Aku yang akan
mengurus itu semua, Mas,” kata Warni tegas. Kini ia tak ingin lagi menjadi
bahan uring-uringan suaminya.
“Mana bisa...” timpal
Sukraman dengan nada meremehkan.
“Lihat saja, aku pasti
bisa. Kerjaku tidak sampai malam. Palingan jam lima sore sudah pulang.
Anak-anak sudah SMP, mereka sudah besar. Aku akan masak lebih awal dari
biasanya. Dan kegiatan cuci baju bisa kukerjakan di malam hari dan hari
Minggu,” sahut Warni dengan penjelasan panjang sebelum akhirnya ia melenggang
menenteng tas tangan dan keluar dari rumah.
*
“Wah, bagus banget Bu
bajunya. Ibu sudah terima gaji, ya?” tanya Rika dengan menenteng sepotong baju
yang telah dibawakan oleh ibunya. Baju itu berwarna biru sesuai dengan warna
favoritnya. Sedang di sisi kanan Vina sedang berkaca sembari meliuk-liukkan
kakinya yang memakai sepatu baru.
“Alhamdulillah,
akhirnya ibu bisa membuat kalian tersenyum, Nduk. Tak pernah terbayangkan kalau
ibu bisa menghasilkan rupiah dari keringat sendiri. Juga dengan tidak mengabaikan
tugas sebagai seorang istri. Pekerjaan rumah pun tuntas ibu selesaikan.”
“Ibu memang hebat!”
ucap Vina sembari mengacungkan jempolnya.
“Maafkan Bapak, ya.”
Sebuah suara datang dari arah kamar. Lelaki itu sudah berdiri tegap di depan
pintu perbatasan ruang tamu dan ruang tengah.
“Aku tak bermaksud
menyepelekan tugasmu sebagai suami,” kata Warni sembari menundukkan kepala.
“Tak apa, Ni. Memang
tak sepantasnya aku melarangmu menjadi wanita karier. Terkadang teori jaman
dulu harus dihilangkan untuk menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan.
Pun untuk mengangkat derajat seorang perempuan. Begitulah seharusnya!
*Selesai*
0 komentar :
Posting Komentar