Sabtu, 06 Agustus 2016

Menghalau Sampan Takdir - Cerpen

Malam makin temaram. Bintang yang tersebar dalam bentang cakrawala masih menyisakan wujudnya.
Sepi itu mendarat pada bilik yang hanya dihuni oleh satu orang. Ia masih terjaga dalam mimpinya. Kesunyian sesekali mulai terganggu dengan suara nyanyian burung di samping pekarangan rumah.
Geliatnya dalam tidur terlihat perlahan-lahan, bagai desir napas bayi yang baru dilahirkan dari rahim ibunya. Kemudian kembali senyap, tak ada keriuhan lagi. Sunyi dan gelap sudah berpadu menjadi satu kesatuan unsur yang tak terpisahkan.
Seseorang menikmati istirahatnya, mengunjur di atas ranjangnya. Tiada terasa penat yang menggerayangi tiap jengkal otot lurik kakinya, napasnya turun-naik secara teratur. Kini yang ada di hadapannya hanyalah bendang hijau yang terbentang dengan jagung-jagung menguning dan sayur-mayur segar. Seorang petani tua mengairi bendang dengan penuh kesabaran. Sedang di sisi kiri bendang telah berdiri anak lelaki yang mencermati setiap gerakan bapaknya itu.
Anak itu tersenyum sembari menggerakkan tangannya memutar, mengisyaratkan agar bapaknya memberi minum semua tanamannya dengan sama rata. Sebuah keadilan yang sudah didapatnya itu sengaja diterapkan pada anaknya. Si anak pun memperhatikan pekerjaan bapaknya sembari berteriak,”Sebelah sana, Pak. Ya, sebelah itu juga!”
Sekonyong-konyong terdengar suara kokok ayam yang cukup kencang, membuat seseorang itu membuyarkan semua mimpinya tentang anak lelaki kecil dan bapaknya.
Namun ia tak kunjung beranjak, dilanjutkan lagi tidurnya. Di luar sudah penuh gemerisik bunyi, seperti suara bakul yang berteriak menjajakan dagangannya. Ada bakul tempe, bakul bumbu, hingga tukang isi korek api.
Tutur yang perlahan, sekali-kali dan terputus-putus. Rupanya orang dagang sudah pergi mencari rezeki seperti tiap-tiap hari. Sejurus kemudian, terdengar suara yang keras, yaitu suara adzan di surau berseru kepada semua hamba Allah agar bangun dan sholat subuh.
Jalan setapak di depan rumah sudah mulai ramai, bunyi kendaraan bermotor sudah berkali-kali mendengung.
Namun orang itu memperbaiki posisi selimutnya yang mulai tersingkap. Hawa dingin sudah terasa menusuk kulitnya. Kembali dimampatkan tubuhnya pada bantal guling yang ada di samping kirinya. Ia hendak tidur kembali dan lebih nyenyak dari yang sebelumnya.
Malam pun telah binasa dilahap sang mentari pagi. Cahaya yang menyibak celah-celah jendela masih terlihat pucat pudar, belum mampu melenyapkan gelap sepenuhnya.
Siang! Bangun! Bangun!
Seketika terdengar suara dalam rumah itu. Suara yang tidak asing di telinganya. Ucapan itu disahuti oleh suara lain yang agak samar kedengarannya.  Anak-anak sudah beranjak dari ranjangnya dan lelompatan menuju ke kamar mandi. Salah seorang darinya masuk ke dalam bilik yang ada paling depan dalam rumah.
“Pak, bangun! Hari sudah terik,” serunya kepada lelaki yang masih berada di atas ranjangnya.
“Iya....” gumam lelaki itu dalam selimutnya. Setelah mendapat jawaban, anak itu keluar dan segera menyambar handuknya yang ada di jalan menuju dapur. Ia bergegas mandi.
Sedangkan lelaki itu mulai mengumpulkan kekuatan untuk beranjak dari lelapnya. Ia pun duduk bersandar pada tembok kamar. Kemudian ia melipat kain selimut yang dikenakannya dan meletakkannya tepat di atas bantal. Ia berjalan keluar, tetapi tidak langsung ke kamar mandi, melainkan duduk di sebuah kursi rotan yang ada di teras rumah. Di meja sudah siap secangkir kopi dan sepiring kecil pisang goreng buatan istrinya.
Disambarnya koran edisi hari ini dan tangannya mencomot satu potong pisang goreng. Meski jarum jam terus berputar, lelaki itu tak peduli bahwa hari sudah siang.
“Sekarang sudah jam setengah tujuh, Mas. Nggak mandi? Vina dan Rika sudah ada di meja makan siap untuk sarapan,” ucap suara seseorang yang baru saja keluar dari pintu rumah.
“Biarkan mereka sarapan dulu. Aku masih membaca koran, Ni,” jawab lelaki itu pada istrinya. Perempuan bernama Warni itu pun melenggang meninggalkan suaminya yang sedang ngopi.
Warni adalah perempuan yang dulu dijuluki sebagai bunga desa. Pesona keanggunan perempuan itu mampu membuat banyak lelaki tertunduk kagum. Meski pendidikan yang ditempuhnya hanya sampai jenjang Sekolah Menengah Atas, perempuan ini menjadi incaran banyak kaum adam di desanya. Bapaknya yang menjabat sebagai lurah, tidak serta-merta memberikan restu kepada lelaki yang ingin menikahi putrinya.
Hingga lamaran itu dibawa lelaki yang bernama Sukraman, anak pemilik tambak terbesar di desanya. Bapak Warni pun menerima pinangan lelaki itu lantaran alasan kebutuhan ekonomi anaknya akan tercukupi.
“Bu, kok ngelamun?” ucap Vina mengagetkan perempuan itu. Anak sulungnya itu memang terlihat sangat dekat dengannya. Semua yang dirasakannya seakan diketahui oleh Vina.
“Sudah lanjutkan makannya, sudah jam berapa ini, Nduk?”
Inggih, Bu.”
Vina dan Rika menyantap hidangan sarapan dengan lahap. Sementara Vina menyantap makanan yang ada dihadapannya dengan menggunakan tangan atau orang jawa biasa menyebutnya dengan istilah ‘puluk’, Rika lebih memilih makan dengan menggunakan sendok. Suara gesekan sendok dan piring kaca memekakkan telinga Warni.
“Nduk, kalau makan jangan bersuara. Ora ilok! Nanti bisa dirusuh sama setan. Kalau mengecap makanan mbok ya jangan seperti itu, mirip sapi kamu,” omel Warni kepada Rika.
“Mesti aku saja yang dimarahi. Mbak Vina saja tidak pernah,” bantah Rika dengan memanyunkan bibirnya.
Setelah sepuluh menit berlalu, kedua anak Warni itu berpamitan untuk berangkat sekolah. Diciumnya kedua tangan orangtuanya dan mengucapkan salam.
Sukraman menatap meja makan dengan menggeleng-gelengkan kepala. Ia mendapati remah-remah sisa makanan yang tercecer di atas taplak meja. Sedangkan dua piring bekas makan Vina dan Rika masih berada di sana.
“Lihat! Anak-anakmu kalau makan berantakan. Apa tidak ada menu lain yang tersaji? Bukankah kemarin kita sarapan tempe, tahu, dan perkedel kentang. Sekarang pun sama,” kata Sukraman kepada Warni. Wanita itu hanya membatin, tidak berani menyahuti perkataan suaminya. Karena baginya melawan suami hanyalah akan menumpuk dosa.
“Iya, akan aku bereskan. Berapa uang yang Mas berikan padaku? Lembaran rupiah itu hanya cukup untuk menyediakan ini di atas meja. Mas harus menerima. Toh, aku tak kau perbolehkan untuk bekerja.”
“Ya, untuk apa kamu bekerja? Seorang perempuan desa yang sudah menikah harus berada di rumah, mengurus rumah tangga,” timpal Sukraman sembari menyantap sepiring nasi dengan lauk tempe dan tahu yang telah dicecarnya beberapa menit yang lalu.
“Itu teori kolot! Mana ada di zaman sekarang teori seperti itu, Mas. Bahkan sampean tidak tahu sering kali besar pasak daripada tiang. Aku hanya berdiam diri dan tidak protes sama sampean. Karenanya, sampean pun janganlah protes,” ucap Warni sembari membereskan piring kedua anaknya.
“Itu tugasmu... mengatur semua. Mulai dari teras rumah hingga ke tungku dapur.”
            Enak benar kalau ngomong. Pendapatan yang tak seberapa saja selalu jadi bahan perdebatan. Rasanya aku ingin kerja, kasihan nanti Vina sama Rika, batin Warni penuh rasa bersalah telah salah memilih Sukraman dan meninggalkan Yadi, pacarnya dulu.
            Setelah nasi di piringnya tak bersisa sebutir pun, Sukraman bergegas mandi. Sepuluh menit selanjutnya ia sudah berpakaian rapi dan siap untuk berangkat bekerja. Sukraman merupakan karyawan salah satu PT kecil dalam bidang otomotif. Ia bertugas sebagai sopir yang mengantarkan mobil kepada konsumen. Namun terkadang sifat angkuhnya membuat sang istri kerap kali jengkel. Ia berlagak layaknya orang berada, meski Warni menyadari kondisi ekonomi keluarganya tidaklah seburuk tetangganya, namun sifat Sukraman dinilainya kurang layak untuk ditampakkan.
*
“Kamu kenapa toh, Nduk?” tanya seorang wanita yang ada di hadapannya.
“Tidak, Bu. Apakah Warni salah jika ingin bekerja?”
“Lho, memangnya kenapa tiba-tiba ingin kerja? Kamu butuh duit, Nduk?” tanya ibunya dengan penuh kekhawatiran. Warni hanya tertunduk lesu di depan ibunya. Air mata yang lama dibendungnya sejak berjalan dari rumahnya sampai ke rumah orangtuanya itu akhirnya tumpah juga.
“Setidaknya bukan untuk sekarang, Bu. Warni butuh untuk masa depan Vina dan Rika,” ucap Warni dalam pelukan ibunya. Sang ibu hanya mengelus puncak kepala ibu dari dua anak itu.
“Sukraman tidak menafkahimu, Nduk? Sudahlah. Kamu butuh duit berapa?” Warni melepaskan pelukannya. Ia menatap lekat mata ibunya sembari mengumpulkan kekuatan untuk berkata yang sebenarnya.
“Menafkahi memang masih, Bu. Tapi pendapatan Mas Sukraman tidaklah cukup membuntu uang sekolah anak-anak, masalah di dapur, dan juga urusan lainnya. Warni ingin kerja saja, setidaknya bisa untuk menutup lubang-lubang yang ada.”
“Semua adalah pilihanmu. Ibu hanya nganut sama kamu. Toh, kamu sudah dewasa dan pasti bisa memilah dan memilih keputusan yang tepat.”
*
            Hari rupanya cukup terik. Matahari tersenyum manis pada burung-burung yang bertengger di dahan pohon mangga. Pun tawa riuh anak-anak yang akan berangkat sekolah memudarkan tiap kelasah dalam hati Warni. Perempuan itu sudah siap dengan setelan seragam barunya. Beberapa minggu yang lalu ia telah melamar di sebuah swalayan tak jauh dari tempatnya tinggalnya. Meski ia hanya diterima sebagai kasir karena minimnya jenjang pendidikan yang ia tempuh, semua itu tak menyurutkan semangat perempuan itu untuk bekerja.
Adu mulut jelas terjadi antara Warni dan Sukraman sebelum perempuan itu berangkat ke tempat kerja.
“Ngapain kerja! Lalu siapa yang akan mengurus rumah dan anak-anak?”
“Aku! Aku yang akan mengurus itu semua, Mas,” kata Warni tegas. Kini ia tak ingin lagi menjadi bahan uring-uringan suaminya.
“Mana bisa...” timpal Sukraman dengan nada meremehkan.
“Lihat saja, aku pasti bisa. Kerjaku tidak sampai malam. Palingan jam lima sore sudah pulang. Anak-anak sudah SMP, mereka sudah besar. Aku akan masak lebih awal dari biasanya. Dan kegiatan cuci baju bisa kukerjakan di malam hari dan hari Minggu,” sahut Warni dengan penjelasan panjang sebelum akhirnya ia melenggang menenteng tas tangan dan keluar dari rumah.
*
“Wah, bagus banget Bu bajunya. Ibu sudah terima gaji, ya?” tanya Rika dengan menenteng sepotong baju yang telah dibawakan oleh ibunya. Baju itu berwarna biru sesuai dengan warna favoritnya. Sedang di sisi kanan Vina sedang berkaca sembari meliuk-liukkan kakinya yang memakai sepatu baru.
“Alhamdulillah, akhirnya ibu bisa membuat kalian tersenyum, Nduk. Tak pernah terbayangkan kalau ibu bisa menghasilkan rupiah dari keringat sendiri. Juga dengan tidak mengabaikan tugas sebagai seorang istri. Pekerjaan rumah pun tuntas ibu selesaikan.”
“Ibu memang hebat!” ucap Vina sembari mengacungkan jempolnya.
“Maafkan Bapak, ya.” Sebuah suara datang dari arah kamar. Lelaki itu sudah berdiri tegap di depan pintu perbatasan ruang tamu dan ruang tengah.
“Aku tak bermaksud menyepelekan tugasmu sebagai suami,” kata Warni sembari menundukkan kepala.
“Tak apa, Ni. Memang tak sepantasnya aku melarangmu menjadi wanita karier. Terkadang teori jaman dulu harus dihilangkan untuk menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan. Pun untuk mengangkat derajat seorang perempuan. Begitulah seharusnya!

*Selesai*

0 komentar :

Posting Komentar