Kali ini saya mau melanjutkan cerita tentang PPL di minggu kedua.
Penasaran nggak? Kalau nggak ada yang penasaran saya nggak jadi cerita nih :D
Baiklah minggu kedua saya sudah mulai bisa beradaptasi dengan
mereka. Sikap mereka yang lucu membuat saya betah dan ingin segera menuju kelas
XI IPA-7 tiap kali ada bunyi informasi: Jam ke-5 segera dimulai, relakskan
diri anda sejenak dan konsentrasi pada mata pelajaran berikutnya … tingg… tungg
… tingg
Bel pergantian belnya sungguh sangat persis seperti di stasiun
kereta, apalagi di belakang sekolah terdapat dua jalur kereta yang sesekali
kereta akan lewat dan suara gerbong-gerbong itu membuat telinga saya sudah
kebal. Akhirnya saya sangat merasa kalau ini stasiun #eh ini sekolah, hehe…
Sebelum saya memasuki ruang kelas, beberapa siswa laki-laki sudah
melihat saya dari depan kelas dan berlari menghampiri saya. Sedangkan ada
beberapa siswa perempuan yang kemudian bersalaman dengan saya. Sedang yang
dilakukan siswa laki-laki itu bertanya,"Bu, biar saya bawakan,"
ucapnya sambil menyambar map presensi dan beberapa buku yang saya bawa.
Diary PPL Part 1; Oh My God
Saya tersenyum dengan tingkah mereka. Dalam hati, saya berfirasat
kalau mereka sudah mulai terbiasa dengan kehadiran saya. Masuk kelas saya
presensi merekea, seperti biasa saya panggil nama mereka satu per satu dan saya
mencoba menghafal lagi. Pertemuan itu saya mulai tahu yang mana Dean, Nurul,
Stefanny Hildegard, Ernes, Calvin, Azzam, Dimas, Emer, dan Dea. Yeyy! Minggu
ini saya menghafal banyak. Saya juga mulai bisa membedakan Stefany yang
jumlahnya 4 orang #abaikan
Guru pamong datang tepat setelah saya selesai mengucap nama
Valerie, nama terakhir di kelas tersebut. Saya memulai pelajaran dengan santai
dan mencoba mengatur waktu. Media saya kali ini adalah …. Mereka nampaknya
penasaran hari ini kita akan melakukan hal apalagi dengan teks eksplanasi.
Malam sebelumnya saya sudah mencari teks berbagai tema, mengulitinya *eh tentu
saja tidak, saya menggunting bagian per bagiannya sesuai struktur kemudian saya
acak lalu saya juga siapkan kertas buffalo dan lem agar mereka menyusunnya
kembali.
Rupanya anak SMA juga merindukan keterampilan menempel layaknya
anak TK. Mungkin itulah yang sedikit bisa menghilangkan stress. Bahkan ada yang
rela menghias kertas buffalo yang sudah tertempel teks itu dengan aneka
coretan. Saya sangat mengapresiasi mereka. Tentu.
Saya membahas satu per satu, rupanya jadi asyik saat ada kelompok
yang susunannya terbalik. Dari kesalahan itulah maka bisa mengetahui yang
benar. Kesalahan bisa menjadi pembelajaran agar kita tak mengulangnya kembali.
Saya agak merasa lucu dengan Pamuji, dia selalu menganggap saya
kurang perhatian padanya. Sesekali waktu saya selalu menghampiri tempat
duduknya, mengingatkan agar dia memakai sepatu dengan benar, duduk dengan
benar, dan lain sebagainya. Namun di akhir pertemuan pesan darinya membuat saya
tertawa namun juga suka dengan dirinya.
Sedang Bagas, dia sangat keberatan karena saya murah senyum karena
katanya, dia menjadi ingin menatap saya kalau saya tersenyum. Wah :D dia cukup
aktif bertanya jika tak mengerti dengan soal yang terlalu rumit.
Minggu kedua saya juga mengajar di hari Rabu dengan teks yang
berbeda. Guru Pamong cukup baik memperbolehkan mengisi di hari Rabu meski tak
masuk hitungan di laporan. Tujuannya agar saya dekat dengan anak-anak, agar
saya cepat hafal mereka semua, juga agar saya mengetahui berbagai karakter
mereka satu per satu. Ah, saya juga hafal Ari dan Fairuz (baca ceramahnya
seperti bang Roma), juga Hana Amanda karena kalau nggak salah dia membawa
boneka waktu itu.
Baiklah, minggu kedua yang berkesan ini memang benar-benar tak bisa
lagi diulang atau dibolak-balik seperti menggoreng tempe. Namun tak apa, semua
adalah histori yang menyenangkan.
Wah, Anggi jadi guru. :)
BalasHapushihihi, amiiin mbak
Hapus