Jumat, 02 September 2016

Revisi atau Tidak Sama Sekali!

anggi_putri
Revisi Tulisanmu!

Revisi atau Tidak Sama Sekali!Di dalam dunia menulis, revisi merupakan hal yang tidak bisa diabaikan. Untuk bisa menciptakan tulisan yang bagus, jangan pernah lelah untuk melakukan revisi. Penulis yang baik adalah penulis yang tidak takut untuk merevisi tulisannya yang bahkan sudah selesai.
Namun, seperti apa sih kegiatan merevisi itu? Apa bedanya revisi dengan mengedit? Dalam dictionary.com menyebutkan definisi revisi adalah: to alter something already written or printed, in order to make corrections, improve, or update: to revise a manuscript

Merevisi maksudnya mengubah sesuatu yang telah ditulis atau dicetak, dalam rangka untuk melakukan koreksi, memperbaiki, atau memperbarui. Editing merupakan bagian dari revisi, tapi editing tidak sampai mengubah substansi dari sebuah tulisan, sedangkan merevisi itu kadang harus menulis ulang sebuah tulisan yang sudah jadi!
Seperti ketika menulis puisi, misalnya, tentu kita sering menganggap bahwa puisi adalah sesuatu yang sakral, yang tidak boleh kita ubah sama sekali. Kalau puisi itu kita revisi, kita merasa berdosa sekali, dan puisi itu kita anggap sudah tidak suci lagi. Padahal, untuk membuat puisi yang bagus pun kita harus tetap melakukan revisi. Puisi bukan kitab suci, jadi jangan takut untuk merevisi demi mendapatkan hasil yang berkualitas.
Sebagai contoh, saya pernah menulis puisi seperti ini:
Adakah yang lebih pahit dari duri yang tertancap dalam sanubari? Adakah yang lebih duri dari kalimat caci yang meluncur dari bibir seorang kekasih ketika kita sedang bersedih?
Kata tertancap di puisi tersebut dikritik oleh teman saya yang kebetulan adalah seorang penyair. Teman saya itu memberi saran agar kata tertancap diganti dengan kata menancap, demi mendapatkan efek psikologis pembaca. Karena kata tertancap memiliki arti ketidaksengajaan sedang menancap artinya sedang terjadi. Setelah itu, saya pun merevisi puisi tersebut menjadi seperti ini: Adakah yang lebih pahit dari duri yang menancap di dalam sanubari? Begitulah. Jika kita ingin membuat efek tulisan yang bagus, revisi adalah jalan yang tak boleh kita lupakan.
Salah satu proses revisi yaitu kita harus membaca ulang karya yang sudah jadi. Setelah draft pertama sudah jadi, baca ulang lagi dari halaman awal.
Dalam proses pembacaan ulang ini kita bukan hanya akan menemukan salah ketik 
(typo) dan semacamnya, melainkan kita juga bisa mempelajari kembali karakter tokoh yang sudah diciptakan dan plot yang sudah dikembangkan.

Apakah tokoh yang diciptakan sudah oke penggarapannya? Apakah plot yang dikembangkan sudah baik? Jika jawabannya belum, jalan terbaik adalah merevisinya sampai segalanya menjadi baik dan sesuai rencana.
Dalam proses pembacaan ulang ini kamu juga bisa mengganti semua kalimat dan adegan yang menurutmu klise (mainstream).
Tentu, pembacaan ulang itu sebaiknya jangan dilakukan hanya sekali, tetapi berkali-kali. Membosankan? Tentu saja. Tapi, mau bagaimana lagi? Semua itu harus dilakukan.
Jika proses pembacaan ulang sudah selesai, simpan dulu karya tersebut dan jalanilah hidup ini dengan tenang. :D Jangan membaca ulang terus-menerus dalam waktu yang sama. Itu tidak baik. Rasa bosan akan membuatmu tidak peka. Pembacaan ulang berikutnya bisa dilakukan pada hari berikutnya atau beberapa hari berikutnya.
Setelah sudah melakukan beberapa perubahan di sana-sini, dan kamu merasa sudah oke, langkah berikutnya adalah meminta pendapat teman. Carilah teman yang menurutmu bisa memberikan pendapatnya secara netral, objektif dan proporsional. 
Setelah temanmu memberikan pendapat, catat pendapatnya yang menurutmu masuk akal dan abaikan pendapatnya yang menurutmu tidak sesuai. Kemudian, revisilah tulisan kamu sesuai dengan pendapat tersebut.
Setelah semuanya sudah kamu lakukan, baca ulang lagi, lagi, dan lagi, sampai kamu merasa bosan. Hahaha. Bercanda. Intinya, jangan malas untuk merevisi tulisanmu. Semua ini demi kebaikan tulisan kamu juga. Itu artinya juga demi kebaikanmu juga. Percaya, deh!


10 komentar :

  1. Sebetulnya editor terbaik adalah diri kita sendiri. Karena saya pernah mengkurasi tulisan seseorang, eh dianya marah-marah karena katanya banyak yang saya cut. Lha memang penggunaan kata-katanya sangat boros. Jadi dilema :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya yang lebih enak itu koreksi tulisan sendiri sebelum dikoreksi orang lain. Itu bener kok Mba, dan saat menerima saran harus berlapang dada untuk memperbaikinya lagi.

      Hapus
  2. Saya juga menerapkan revisi, cuma buat blog agak susah ya. Soalnya kalau habis nulis langsung dibaca ulang -- biasanya ya ngga ada yang direvisi. Harus ditunggu 1-2 hari, ngerjain yang lain dulu baru deh kepikiran revisi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau saya sih nggak langsung di blog tapi di Ms.word setelah fix dipindah di blog buat diposting. Mungkin setiap orang memiliki caranya masing-masing :)

      Hapus
  3. Wah... bagus banget mbak Anggi. Kata-kata yang aku ingat ini. "Bosan membuatmu menjadi tidak peka." ^_^

    Sip, jempol semua deh.... :D

    BalasHapus
  4. Setuju bangeeeet. Penulis (penulis apa pun) jangan sampe kena penyakit malas merevisi. :)

    BalasHapus