Sebenarnya mudik lebaran merupakan budaya yang
menuntut kesiapan mental, fisik, dan finansial. Lebaran menjadikan semua hal
mahal akibat tarikan permintaan dan inflasi. Oleh karenanya, kemampuan
finansial harus gaspol. Buat kamu yang sudah bekerja, sudah waktunya menyiapkan
angpao buat sepupu dan keponakan. Begitulah roda terus berputar, pernah
menerima dan saatnya untuk memberi.
Tapi, bahasan saya kali ini bukan soal angpao. Jika
kamu pernah merasakan mudik lebaran, maka berbahagialah. Saya sendiri belum
pernah merasakannya. Gimana sih rasanya? Semacam traveling, atau semacam
bepergian biasa? Coba deh ceritakan ke saya sesekali. Barangkali dengan
ceritamu saya juga bisa merasakan hal yang temen-temen lakukan setiap tahun.
Memang budaya mudik setahu saya hanya ada di
Indonesia. Setiap kali jelang lebaran, pemudik semakin meningkat. Jika dipikir
secara logika, hal ini memang sangat masuk akal. Setelah sekian lama merantau,
tidak pulang maka seharusnya pulang. Seperti anak sungai yang mengalir pasti
akan sampai pada muaranya kembali. Seperti kita yang berkelana pastilah rumah
tempat berpulang juga.
Ah, kok jadi sedih. Mengapa tidak pernah mudik? Ada
beberapa alasan yang membuat sedikit menguras hati *Ehem*. Sejak kecil, saya
selalu membayangkan rasanya mudik itu seperti apa. Barangkali enak ya,
sempit-sempitan di dalam kendaraan umum dan melihat orang-orang
berbondong-bondong membawa tas, koper, hingga kardus oleh-oleh untuk sanak
saudara. Barangkali enak ya, bisa mengamati pemudik yang semangat menuju
kampung halaman, barangkali enak ya, begitulah angan-angan saya.
Memang pernah melihat pemudik, waktu saya liputan
hihi. Di luar waktu itu, saya tidak pernah menjalaninya sendiri. Beberapa
alasan yang membuat saya tidak mudik yakni.
Keluarga Nenek dan Rumah Saya hanya Beda RT
Memang agak sebel kalau membicarakan hal ini. Tapi,
sekali lagi kehidpan pasti ada enak dan tidaknya, kan? Rumah nenek dari ayah
dan ibu berada di satu kecamatan yang sama. Bedanya dengan rumah saya yakni
hanya berbeda RT saja. Jalan kaki pun sudah bisa ke sana.
Hingga tiap kali lebaran, tiap usai maghrib saya dan
keluarga jalan bersama menuju rumah nenek. Tiap bertemu dengan orang-orang
seketika ayah saya menjawab dengan candaan, “Ya, mudik dulu dong, wong lebaran
kok.” Seketika orang-orang di jalan itu tertawa.
Yups, mudik dengan jalan kaki sudah saya lakukan
sejak kecil. Oleh karenanya saya selalu bercita-cita bisa mudik. Barangkali
jodoh saya agak jauh dari rumah. Syukur kalau beda kota atau beda provinsi.
Sepertinya bakal seru, pikir saya.
Sebuah Cita-Cita yang Disemogakan
Saya selalu ingin mudik, sungguh. Oleh karenanya
saya ingin memiliki suami (nantinya) yang agak jauh sehingga bisa merasakan
sensasi mudik itu seperti apa. Remeh temeh memang, tapi itulah kebenarannya.
Sebuah cita-cita yang sangat sepele tapi belum terlaksana.
Tapi, selain ke rumah nenek saya juga biasanya ke
rumah kerabat yang ini agak sedikit jauh. Lumayanlah ya, jadi ada perjalanan
sekitar setengah hingga sau jam. Tapi, tahun ini akan ada masa-masa sulit.
Kalau disergap pertanyaan, “tahun ini kalo nggak
keliru sudah 20 lebih kan ya? Kapan nikah?” Jenis pertanyaan dari kerabat atau
teman yang tidak sopan, tidak pantas, tapi sudah terlanjur membudaya. Masih
tetap harus mudik ke kerabat? Saya akan berpikir lagi untuk hal ini. ^_^
0 komentar :
Posting Komentar