Jumat, 24 Mei 2019

Mudik Lebaran, Sebuah Cita-Cita yang Harus Terlaksana



Sebenarnya mudik lebaran merupakan budaya yang menuntut kesiapan mental, fisik, dan finansial. Lebaran menjadikan semua hal mahal akibat tarikan permintaan dan inflasi. Oleh karenanya, kemampuan finansial harus gaspol. Buat kamu yang sudah bekerja, sudah waktunya menyiapkan angpao buat sepupu dan keponakan. Begitulah roda terus berputar, pernah menerima dan saatnya untuk memberi.


Tapi, bahasan saya kali ini bukan soal angpao. Jika kamu pernah merasakan mudik lebaran, maka berbahagialah. Saya sendiri belum pernah merasakannya. Gimana sih rasanya? Semacam traveling, atau semacam bepergian biasa? Coba deh ceritakan ke saya sesekali. Barangkali dengan ceritamu saya juga bisa merasakan hal yang temen-temen lakukan setiap tahun.

Memang budaya mudik setahu saya hanya ada di Indonesia. Setiap kali jelang lebaran, pemudik semakin meningkat. Jika dipikir secara logika, hal ini memang sangat masuk akal. Setelah sekian lama merantau, tidak pulang maka seharusnya pulang. Seperti anak sungai yang mengalir pasti akan sampai pada muaranya kembali. Seperti kita yang berkelana pastilah rumah tempat berpulang juga.

Ah, kok jadi sedih. Mengapa tidak pernah mudik? Ada beberapa alasan yang membuat sedikit menguras hati *Ehem*. Sejak kecil, saya selalu membayangkan rasanya mudik itu seperti apa. Barangkali enak ya, sempit-sempitan di dalam kendaraan umum dan melihat orang-orang berbondong-bondong membawa tas, koper, hingga kardus oleh-oleh untuk sanak saudara. Barangkali enak ya, bisa mengamati pemudik yang semangat menuju kampung halaman, barangkali enak ya, begitulah angan-angan saya.

Memang pernah melihat pemudik, waktu saya liputan hihi. Di luar waktu itu, saya tidak pernah menjalaninya sendiri. Beberapa alasan yang membuat saya tidak mudik yakni.


Keluarga Nenek dan Rumah Saya hanya Beda RT

Memang agak sebel kalau membicarakan hal ini. Tapi, sekali lagi kehidpan pasti ada enak dan tidaknya, kan? Rumah nenek dari ayah dan ibu berada di satu kecamatan yang sama. Bedanya dengan rumah saya yakni hanya berbeda RT saja. Jalan kaki pun sudah bisa ke sana.

Hingga tiap kali lebaran, tiap usai maghrib saya dan keluarga jalan bersama menuju rumah nenek. Tiap bertemu dengan orang-orang seketika ayah saya menjawab dengan candaan, “Ya, mudik dulu dong, wong lebaran kok.” Seketika orang-orang di jalan itu tertawa.

Yups, mudik dengan jalan kaki sudah saya lakukan sejak kecil. Oleh karenanya saya selalu bercita-cita bisa mudik. Barangkali jodoh saya agak jauh dari rumah. Syukur kalau beda kota atau beda provinsi. Sepertinya bakal seru, pikir saya.

Sebuah Cita-Cita yang Disemogakan

Saya selalu ingin mudik, sungguh. Oleh karenanya saya ingin memiliki suami (nantinya) yang agak jauh sehingga bisa merasakan sensasi mudik itu seperti apa. Remeh temeh memang, tapi itulah kebenarannya. Sebuah cita-cita yang sangat sepele tapi belum terlaksana.

Tapi, selain ke rumah nenek saya juga biasanya ke rumah kerabat yang ini agak sedikit jauh. Lumayanlah ya, jadi ada perjalanan sekitar setengah hingga sau jam. Tapi, tahun ini akan ada masa-masa sulit.

Kalau disergap pertanyaan, “tahun ini kalo nggak keliru sudah 20 lebih kan ya? Kapan nikah?” Jenis pertanyaan dari kerabat atau teman yang tidak sopan, tidak pantas, tapi sudah terlanjur membudaya. Masih tetap harus mudik ke kerabat? Saya akan berpikir lagi untuk hal ini. ^_^


***

0 komentar :

Posting Komentar