Analisis
Novel 1998
Untuk Memenuhi Tugas UTS Mata Kuliah
Sejarah Sastra
Dosen Pengampu:
Rikke Kurniawati
Oleh:
Anggi Putri Winarti (14610033)
UNIVERSITAS WIJAYA
KUSUMA
FAKULTAS BAHASA DAN
SAINS
PENDIDIKAN BAHASA DAN
SASTRA INDONESIA
TAHUN 2014
BAB I
Pendahuluan
A.
Latar
Belakang
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) arti
kata sastra adalah “karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lain,
memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan
dalam isi dan ungkapannya”. Karya sastra berarti karangan yang mengandung
nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah. Sastra memberikan
wawasan yang umum tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual, dengan
caranya yang khas. Pembaca sastra dimungkinkan untuk menginterpretasikan teks
sastra sesuai dengan wawasannya sendiri.
Karya
sastra adalah cerminan kehidupan sosial. Karya sastra merupakan kristalisasi
nilai dan pengalaman hidup. Sastra menampilkan gambaran dan kehidupan.
Kehidupan mencakup hubungan antar manusia, hubungan antar masyarakat, dan antar
peristiwa yang terjadi dalam batin manusia. Paparan tersebut menunjukkan bahwa
karya sastra berangkat dari realitas kehidupan manusia yang berwujud dari
budaya yang ada di masyarakat.
Karya sastra dibedakan menjadi puisi
dan prosa. Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi adalah kata-kata yang
terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan
disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan
unsur lain sangat erat berhubungannya, dan sebagainya.
Menurut Ardi Yudi Pradana, prosa adalah suatu jenis tulisan yang
dibedakan dengan puisi karena variasi ritme (rhythm) yang dimilikinya lebih
besar, serta bahasanya yang lebih sesuai dengan arti leksikalnya. Kata prosa
berasal dari bahasa Latin "prosa" yang artinya "terus terang".
Jenis tulisan prosa biasanya digunakan untuk mendeskripsikan suatu fakta atau
ide. Karenanya, prosa dapat digunakan untuk surat kabar, majalah, novel,
ensiklopedia, surat, serta berbagai jenis media lainnya. Prosa juga dibagi
dalam dua bagian, yaitu prosa lama dan prosa baru. Prosa lama adalah prosa
bahasa indonesia yang belum terpengaruh oleh budaya barat, dan prosa baru ialah
prosa yang dikarang bebas tanpa aturan apa pun.
Salah
satu dari jenis prosa baru adalah novel. Novel merupakan sebuah karya sastra
fiksi yang ditulis secara naratif, biasanya dalam bentuk cerita. Dalam novel
sangat memungkinkan adanya penyajian secara panjang lebar mengenai persoalan
hidup. Oleh karena itu, persoalan-persoalan yang diusung dalam novel cenderung
lebih kompleks dari cerpen. Selain itu, novel lebih leluasa mengeksplorasi
detail peristiwa, suasana, dan karakter untuk menghidupkan cerita. Semua unsur
itu juga ditemui dalam Novel 1998.
Novel 1998 adalah novel yang ditulis
oleh Ratna Indraswari Ibrahim. Novel ini menceritakan tentang situasi politik pada
masa presiden Suharto yang diharapkan lengser menjadi presiden Republik
Indonesia. Hal tersebut dilatarbelakangi adanya demo dari kalangan mahaiswa
hingga memecahnya peristiwa Trisakti. Terdapat mahasiswa yang terbunuh pada
masa itu. Dan pada akhirnya sang presiden, Suharto dapat lengser dan digantikan
oleh Habbibie.
Sang
penulis, Ratna Indraswari Ibrahim berhasil menyuguhkan atmosfer yang kelam
dalam pencitraannya mengenai kota Malang di era ’98. Isu politik yang dibahas
menjadikan latar cerita semakin menarik. Tidak hanya itu, unsur-unsur lain pun
turut mendukung isi novel, seperti nasionalisme, percintaan, sosial, serta
keberadaan etnis minoritas. Banyak nilai-nilai positif dan mengajarkan kita
selalu bersikap optimis serta mempunyai prinsip hidup.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimanakah Biografi
dan pemikiran penulis yang terkait pada cerita novel “1998”?
2.
Bagaimanakah Bentuk
Ideologi pada masa Pemerintahan 1998 yang tercermin dalam novel “1998”?
3.
Faktor pendukung apakah
yang terdapat dalam novel “1998” yang mencerminkan bentuk pemerintahan pada
masa itu?
C. Tujuan Penelitian
1.
Untuk mengetahui
Biografi dan pemikiran penulis yang terkait pada novel “1998”.
2.
Untuk mengetahui
Ideologi pada masa Pemerintahan 1998 yang tercermin dalam novel “1998”.
3.
Untuk mengetahui faktor
pendukung yang terdapat dalam novel “1998” yang mencerminkan bentuk
pemerintahan pada masa itu.
BAB
II
Pembahasan
1.
Biografi
dan pemikiran penulis yang terkait pada cerita novel “1998”
Ratna
Indraswari Ibrahim merupakan sastrawan produktif yang lahir di Malang 24 April
1949, bukan sekadar menjadikan menulis sebagai kehidupan profesionalnya. Lebih
dari itu ia menjadi “Ibu” bagi para pekerja sosial, kesenian; terakhir ia
membuat Forum Kajian Ilmiah Pelangi (2001) yang bermarkas di rumahnya, Jl.
Diponegoro 3.A Malang. Forum ini mampu menjadi oase, kantong budaya, karena
mengakomodasi berbagai elemen masyarakat (termasuk pengangguran) dalam diskusi
persoalan aktual setiap bulan.
Dalam peta susastra nasional, karya-karya cerita
pendek Ratna sudah diperhitungkan. Tiga kali berturut-turut cerpennya masuk
dalam antologi cerpen pilihan Kompas (1993-1996), cerpen pilihan harian
Surabaya Post (1993), serta juara tiga lomba penulisan cerpen dan cerbung
majalah Femina (1996-1997). Juga karyanya terpilih masuk dalam Antologi Cerpen
Perempuan Asean (1996). Sementara produktivitasnya terus mengalir dengan
cerpen-cerpen yang dimuat di Kompas, Horison, Basis, Suara Pembaruan, Kartini,
Sarinah, Jawa Pos dan banyak lagi. Dan terbitnya dua buku kumpulan cerpennya,
Namanya Massa dan Aminah di Suatu Hari.
Secara fisik
Ratna memang tidak bisa mobile
lantaran cacat sejak lahir. Tetapi Tuhan Maha Besar, cacat fisik seperti ini
bukan menjadi hambatan untuk mengembangkan pribadinya, bertumbuh menjadi
perempuan yang punya wawasan luas, punya empati dan kepercayaan diri. Sejak
1977 dia juga aktif menjadi ketua Yayasan Bhakti Nurani Malang, Disable Person
Organization, sebagai Direktur I LSM Entropic Malang (1991). Dan karena
aktivitas sosialnya inilah dia mendapat kesempatan mengikuti berbagai seminar
internasional, seperti Disable People International di Sydney (1993), Kongres
Internasional Perempuan di Beijing (1995), Leadership Training MIUSA di Eugene
Oregon USA (1997), Kongres Perempuan Sedunia di Washington DC (1997), serta
pernah mendapat predikat Wanita Berprestasi dari Pemerintah RI (1994).
Proses kepenulisannya,
ia banyak mendapat inspirasi dari historiografi, yakni menceritakan
kejadian-kejadian masa lampau, baik berunsur sejarah atau legenda. Anak kelima
dari 10 bersaudara ini mengaku bahwa bakat kepengarangannya menurun dari simbah
buyutnya yang menjadi pawang cerita di Minang. Maka secara seloroh ia berkata,
“sebenarnya saya ini berani mengklaim sebagai sastrawan lisan.” Dalam proses
kepenulisannya, karena cacat fisik yang tidak memungkinkan dia menulis
langsung, maka Ratna yang pernah mengenyam pendidikan di FIA Unibraw (tidak
selesai) ini hanya mendikte pada para pembantunya untuk mengetik, baru kemudian
merevisinya.
Dengan
perjuangan teknis seperti itulah cerpen dan novelnya lahir, dan memiliki
karakter yang sangat khas dengan kewanitaannya, sehingga Prof. Dr. Budi Darma
pernah berkomentar, “sebagaimana halnya cerpen Ratna terdahulu, kita merasakan
kelembutan perasaan Ratna. Dia pengarang berhati lembut, berhati peka.”
Dalam perjalanan hidupnya, sebagai difabel, Ratna
mengaku pernah mengalami masa-masa yang disebutnya sebagai "kemarahan usia
remaja". Ratna sudah menandatangani kontrak dengan sebuah penerbit di
Jakarta. Novel tersebut belum berjudul, menggarap romantika dunia aktivis di
tengah pergolakan reformasi 1998 yang belum sempat diselesaikannya, karena ajal
menjemput.
2.
Ideologi
pada masa Pemerintahan 1998 yang tercermin dalam novel “1998”
Ø Kekuasaan
pemerintah yang otoriter. Hal ini terlihat pada kutipan:
(1)
“Putri
terdiam sejenak lalu bicara, “aku merasa negeri ini punya presiden otoriter.”
(Ibrahim, 2012:11).
Otoriter biasa disebut
juga sebagai paham politik otoritarianisme (Inggris authoritarianisme) adalah
bentuk pemerintahan yang bercirikan oleh penekanan kekuasaan hanya ada pada
negara tanpa melihat derajat kebebasan individu. sistem politik ini biasanya
menentang demokrasi dan kuasaan pemerintahan pada umumnya diperoleh tanpa
melalui sistim demokrasi pemilihan umum. Pada kutipan di atas, dapat kita
ketahui bahwa Putri merasa negeri ini punya presiden otoriter. Ia sudah tidak nyaman
lagi berada di Indonesia. Tapi, demi keluarga dan teman-temannya ia tak ingin
pindah. Seburuk-buruknya keadaan Indonesia ia ingin berada di negaranya.
(2) “Dia mahasiswa Fakultas Hukum. Namanya
Boy. Beberapa kali ketemu aku, bahasa tubuhnya mngisyaratkan dia suka padaku.
Tapi aku muak padanya. Ia merasa jadi pahlawan ketika memaki-maki pemerintahan.
Dia sering bilang zaman ini sudah tidak cocok lagi punya presiden yang
otoriter!” (Ibrahim, 2012:12)
Di dalam negara otoriter, partai politik
lebih mengedepankan fungsi sebagai sarana pendoktrin pemerintah kepada
masyarakat, sehingga hanya terjadi arus komunikasi atas kebawah daripada timbal
balik. Contoh lain adalah dalam menjalankan fungsinya sebagai sarana
sosialisasi politik, didalam negara demokrasi, partai politik berperan sebagai
alat untuk mensosialisasikan budaya politik negara dari satu generasi ke
generasi berikutnya dengan melalui berbagai cara. Dari
kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa tidak hanya Putri yang merasa negeri
ini otoriter. Boy seorang mahasiswa Fakultas Hukum juga merasakan hal yang
sama. Boy dapat mengkritisi bentuk pemerintahan pada masa itu. Ia merasa
presiden otoriter sudah tidak cocok diterapkan di zamannya. Secara tidak
langsung, ia menginginkan pemerintahan yang reformis dalam arti pemerintah yang
tidak hanya memperhatikan sandang, pangan, dan papan para masyarakatnya tetapi
juga menjunjung tinggi HAM serta memberikan kebebasan berpendapat. Sehingga
terdapat andil dari semua pihak yang ada di negara tersebut.
Ø Perbedaan
pendapat menjadi hal yang dilarang. Bahkan seolah-olah beda pendapat itu kafir.
Hal ini terlihat pada kutipan:
“Barangkali Neno benar ketika bilang,
“situasi politik di Indonesia sulit diduga. Suharto harus turun. Kita ini sudah
dididik menjadi masyarakat yang bisu olehnya. Dia mengusung budaya Jawa, mendem jeru mikul dhuwur. Sebuah
petuah yang cerdik, artinya kita dilarang untuk beda pendapat. Seolah-olah yang
beda pendapat itu kafir!” (Ibrahim, 2012:21)
Pembatasan kemerdekaan berpendapat oleh pemerintah
terhadap rakyat akan menimbulkan akibat, antara lain munculnya sikap acuh tak acuh rakyat terhadap
perkembangan demokrasi, berkurang atau hilangnya hak kemerdekaan mengemukakan
pendapat, munculnya kekecewaan rakyat karena merasa dibodohi dan dipasung
hak-haknya, komunikasi
sosial menjadi terkekang. Dari
kutipan di atas, dipaparkan bahwa beda pendapat seolah dianggap kafir. Hal ini
maksudnya menyalahi aturan pemerintah. Kita sebagai warga negara dituntut untuk
patuh kepada putusan-putusan yang dibuat oleh pemerintah walaupun kita
mengetahui hal yang kita patuhi adalah salah. Pemerintahan Suharto
memberlakukan hal semacam ini hanya semata-mata untuk membatasi masyarakatnya
agar tidak menentangnya.
Masyarakat harus mengiyakan semua
peraturan yang dibuat, jika tidak akan ada sanksi yang dijatuhkannya. Pada masa
itu presiden Suharto tahu apabila diizinkannya kebebasan berpendapat, maka akan
terjadi konflik politik dari pihak masyarakat dan dari kalangan pejabat.
Terlebih ia tidak ingin dunia luar mengetahui caranya menjalankan pemerintahan.
Sebenarnya ia takut apabila harus lengser dari jabatannya. Kemerdekaan berpendapat merupakan bagian
dari masyarakat yang demokratis. Dalam sebuah masyarakat anti demokrasi, biasanya
pembatasan kemerdekaan berpendapat dimaksudkan untuk membatasi adanya kritik
sosial dari rakyat. Padahal sejarah menunjukkan bahwa
kebebasan berpikir menjadi pilar utama bagi lahirnya banyak pencapaian luar
biasa di negeri-negeri besar.
3.
Faktor
pendukung yang terdapat dalam novel “1998” yang mencerminkan bentuk
pemerintahan pada masa itu
Pada era ’98 terdapat banyak mahasiswa yang
melakukan aksi demonstrasi karena kekuasaan pemerintah yang otoriter. Hal ini terbukti
pada kutipan:
“Putri tersentak, “Papa, saya kira tindakan mereka
cukup murni. Mereka Cuma menginginkan demokrasi. Bukankah tanpa demokrasi
rakyat tidak bisa berbicara? Padahal banyak lahan tanah mereka dikuasai
pemerintah. Neno bilang ini sebabnya mahasiswa mengorganisir diri mereka untuk
mendampingi rakyat yang dibungkam.” (Ibrahim, 2012:14).
Demo
adalah tindakan masyarakat yang tidak senang dengan kondisi dan keputusan
pemerintah. Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998
adalah puncak gerakan mahasiswa dan gerakan rakyat pro-demokrasi pada akhir
dasawarsa 1990-an. Gerakan ini menjadi monumental karena
dianggap berhasil memaksa Soeharto berhenti dari jabatan Presiden Republik Indonesia
pada tangal 21 Mei 1998, setelah 32 tahun menjadi Presiden
Republik Indonesia sejak dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) pada tanggal 11 Maret 1966 hingga tahun 1998. Namun, mereka tidak
mengakui Soeharto dan melaksanakan pemilu kembali. Pada saat itu, hingga 1999, dan selama 29 tahun, Partai Golkar merupakan partai yang menguasai
Indonesia selama hampir 30 tahun, melebihi rejim PNI yang menguasai Indonesia selama 25
tahun. Namun, terpliihnya Soeharto untuk terakhir kalinya ini ternyata
mendapatkan kecaman dari mahasiswa karena krisis ekonomi yang membuat hampir
setengah dari seluruh penduduk Indonesia mengalami kemiskinan.
Adanya larangan membaca buku-buku yang dicekal oleh
pemerintah. Misalnya saja buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer dianggap
sebagai buku komunis. Hal ini terbukti pada kutipan:
“Ya sekalipun orangtuaku senang membaca, tentu saja
Papa dan Mama tidak menganjurkan untuk membaca buku-buku semacam itu. Papa
acapkali bilang, “buku-buku seperti itu Cuma untuk wacana saja. Isinya bukan
realitas kehidupan kita. Oleh karena itu Orde Baru melarangnya. Saya tidak akan
pernah mengizinkan kau membaca apa-apa yang tidak disukai pemerintah.”
(Ibrahim, 2012:6).
Hingga
1996 diperkirakan sekitar 2.000 buku telah dilarang sejak 1965. Sebanyak 70
judul buku dilarang beredar di semua lembaga pendidikan pascapembunuhan tujuh
perwira militer pada 1 Oktober 1965. Pemberangusan ini diikuti pula dengan
larangan terhadap karya-karya 87 pengarang yang ditengarai memiliki hubungan
dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Larangan penyebarluasan ajaran
Marxisme/Komunisme terus memakan korban hingga pada 1967 sebanyak 174 judul
buku dan majalah dilarang peredaran dan kepemilikannya. Meski jumlah pelarangan
menunjukkan tren penurunan pada tahun-tahun berikutnya, namun praktik ini masih
terus berlangsung. Pada 1980-an secara rata-rata sebanyak 14 judul buku
dilarang setiap tahunnya (Sen & Hill, 2001).
“Mama tidak pernah suka kalau memergoki aku membaca
buku itu karena buku Pramoedya dilarang beredar oleh pemerintah. Mama selalu
bilang, “Itu buku komunis! Berbahaya kalau orang-orang tahu kamu baca buku itu,
nduk.” (Ibrahim, 2012:4).
Karya-karya sastra Pramoedya Ananta Toer
yang masuk dalam kategori masterpiece dikutuk oleh rezim Orde Baru
sebagai buku-buku terlarang hanya karena Pram pernah menjadi salah satu aktivis
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Di antara karya-karya tersebut adalah
tetralogi Pulau Buru yang telah menarik perhatian dari banyak pemerhati sastra
internasional. Meski demikian, larangan yang dikenakan terhadap karya-karya
Pramoedya tidak membuat karya-karya tersebut kehilangan pembaca. Edisi cetakan
maupun fotokopi beredar secara sembunyi-sembunyi di kalangan aktivis dan
pemerhati sastra pada era 1980an hingga 1990an. Aktivitas semacam inilah yang
membuat Bonar Tigor Naipospos, Bambang Subono, dan Bambang Isti Nugroho
-ketiganya pegiat Kelompok Studi Sosial Palagan, Yogyakarta- divonis
masing-masing 8 tahun 6 bulan, 6 tahun, dan 7 tahun penjara pada Mei 1989 (Forum
Keadilan, 9 Juni 1994). Saat itu pengadilan menilai bahwa aktivitas mereka
merupakan tindak pidana subversi. Sungguh suatu hal yang tidak masuk akal
sekaligus menggelikan.
Karier para pejabat
akan terancam jika diketahui salah seorang dari keluarganya ikut menentang
pemerintah atau melakukan demo. Hal ini terbukti pada kutipan:
“Untung kita keluar dari kerumunan demonstran. Ini
sangat tidak menguntungkan bagi keluarga kita.” Putri menjawab dengan suara
rendah, “yah, karier Papaku bisa hancur-hancuran kalau aku terliput wartawan.”
(Ibrahim, 2012:12).
Banyaknya orang yang dibunuh tanpa diadili dan
dihilangkan. Hal ini terbukti pada kutipan:
“pada 1965
memang banyak orang yang dibunuh tanpa diadili. Sedangkan sejak 1997 sampai
sekarang 1998, lebih buruk dari tahun-tahun sebelumnya. Sudah terlalu banyak
orang hilangn dan tidak jelas apakah yang bersangkutan meninggal dunia atau
masih hidup.” (Ibrahim, 2012:259).
Penghilangan paksa
merupakan salah satu dari sekian banyak bentuk pelanggaran hak asasi manusia
yang terjadi pada masa itu. Isu “penghilangan paksa” mulai sering
diperbincangkan masyarakat pasca mundurnya Presiden Soeharto tanggal 21 Mei
1998 yang kemudian disebut sebagai era “reformasi”. Di masa-masa itu istilah
yang lebih dikenal bukan “penghilangan paksa”, melainkan “penculikan”,
bahkan mungkin istilah lain yang juga akrab terdengar saat itu adalah istilah “orang
hilang”. Meskipun jelas berbeda pengertian, istilah “penculikan”
dan “orang hilang” dirasakan lebih mudah diterima oleh masyarakat
luas. Kontras sengaja memakai istilah “orang hilang” ketimbang “penculikan”
atau “penghilangan paksa”. Dua istilah terakhir ini bagi sebagian
orang masih terkesan “angker”, sehingga mungkin dinilai bisa menyulitkan
upaya-upaya meraih dukungan publik luas dalam membongkar praktik
kejahatan ini.
Sekadar kilas
balik catatan Kontras, istilah ini mencuat ke permukaan publik setelah sejumlah
aktivis dilaporkan hilang dalam kurun waktu April 1997 sampai Maret-Mei 1998.
Banyak dari mereka yang dihilangkan adalah para aktivis, pemuda dan mahasiswa,
yang saat itu dianggap penguasa sebagai kelompok yang membahayakan serta
merongrong negara.
Upaya untuk
mempersoalkan masalah ini kemudian memperoleh perhatian dari dalam maupun luar
negeri.
Tujuan dari penghilangan
orang adalah agar yang bersangkutan, baik korban dan kelompoknya, menjadi kapok
dan tidak melakukan hal yang sama, menentang penguasa. Ini adalah salah satu
senjata ampuh yang digunakan, sebagai contoh; para petani di Malang dihilangkan, paska
mempermasalahkan pengambilan tanah oleh aparat keamanan .
Kelompok petani tersebut tidak berani melapor atau melawan hingga saat sang
kepala desa ingin mengokupasi tanah tersebut.
Selain motif
mempertahankan kekuasaan, juga ada motif lainnya yaitu penghilangan saksi mata
dan teror. Penghilangan saksi mata merupakan sebuah upaya menghilangkan saksi
atas sebuah peristiwa politik yang cukup keras atau pelanggaran HAM yang berat.
Penghilangan saksi
mata biasanya terjadi di suatu tempat dimana telah terjadi kekerasan antara
negara dan masyarakat yang begitu meluas sehingga negara merasa perlu
melindungi dirinya dengan melakukan praktik penghilangan orang secara paksa.
Penghilangan
merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh sebuah kekuatan/rezim kekuasaan
terhadap “ancaman” yang tidak mempunyai celah untuk dikriminalisasikan. Ketidak
mampuan secara yuridis biasanya memaksa sebuah rezim untuk melakukan
tindakan-tindakan untuk meminimalisir ancaman terhadap kekuasaannya. Maka
penghilangan menjadi sebuah “logika kekuasaan” yang patut dilakukan.
Kebanyakan etnis
minoritas seperti Tionghoa merasa tidak mendapat perhatian dari pemerintah dan
merasa tidak memiliki negara walaupun mereka tinggal di Indonesia. Hal ini
terbukti pada kutipan:
“Heni tentu saja
bilang, “sebagian besar iya sebab kami menyadari keminoritasan etnis kami tapi
ini tidak semua. Di antara kami pasti ada orang-orang yang tidak betah dengan
simbol-simbol yang kami sepakati bersama sebagai kaum minotritas. Aku sendiri
sesungguhnya merasa orang Indonesia, hanya terkadang lingkungan yang membuatku
merasa cuma numpang hidup di sini. Tak heranlah bila Daniel sering bilang kami
harus mencari negeri lain untuk anak-cucu kelak.”
Tidak diragukan lagi bahwa Suharto
telah memperkenalkan kebijakan asimilasi terhadap etnik Tionghoa sebagai sebuah
praktik politik yang tidak pernah dilakukan pada masa sebelumnya. Selama
periode parlementer (1949-1958) yang berasaskan demokrasi, kebijakan asimilasi
sulit dan bahkan tidak mungkin diterapkan karena asimilasi menentang
prinsip-prinsip demokrasi.
Hal ini tercermin pemerintah
membatasi jumlah pendaftar di sekolah-sekolah Tionghoa serta pengelolaan
koran-koran Tionghoa. Anak-anak orang Indonesia dilarang memasuki sekolah
tersebut dan beberapa koran asing ditutup.
Presiden tidak
mengizinkan surat kabar menceritakan tentang demo-demo di kampus. Hal ini
terlihat pada kutipan:
“situasi di
Indonesia semakin buruk. Presiden tidak mengizinkan surat kabar menceritakan
demo-demo di kampus. Padahal di salah satu kampus, mereka sudah membakar foto
presiden yang sudah berkuasa selama 30 tahun lebih itu. Salah satu koresponden
kami menjelaskan tidak ada satu koran pun berani memuat berita ini.”
Banyak pers yang dilarang terbit ini
merupakan keputusan yang mengejutkan bagi bangsa Indonesia. Presiden tidak
menginginkan kebobrokan politik di negeri ini diketahui oleh dunia luas.
Misalnya saja pada salah satu nsurat kabar Harian Indonesia Raya.
Harian Indonesia Raya adalah Surat
kabar nasional yang mengalami dua kali masa
penerbitan, yakni pada masa pemerintahan Orde
Lama dan masa Orde
Baru. Pada kedua masa pemerintahan tersebut
harian Indonesia Raya mengalami larangan terbit. Selama masa penerbitan
pertama 1949-1968,
lima wartawannya pernah ditahan selama beberapa hari, bahkan ada yang sampai
satu bulan. Pemimpin redaksinya, Mochtar
Lubis, menjadi tahanan rumah dan dipenjarakan
selama sembilan tahun tanpa proses peradilan.
BAB
III
Penutup
1. Simpulan
Novel 1998 adalah novel yang
menceritakan tentang kehidupan Putri, anak walikota Malang. Dengan status
sosial Papanya sebagai walikota Putri dituntut untuk tidak menjadi mahasiswa
aktifis. Namun kehidupan menuntun Putri menjadi pacar seorang aktifis bernama
Neno. Hingga pada suatu hari Neno dihilangkan setelah diketahui menjalin
hubungan dengan Kolonel Hadi.
Novel ini ditulis oleh Ratna
Indraswari Ibrahim yang dengan segala kekurangannya memunculkan
pemikiran-pemikiran sehingga terlahirlah karya novel terakhirnya pada tahun
2012. Terdapat banyak ideologi pada masa pemerintahan 1998 yang tercermin di
dalam novel, di antaranya pelarangan beda pendapat dan kekuasaan yang otoriter.
Adapun faktor pendukung yang mencerminkan pemerintahan pada masa itu, yaitu pelarangan
membaca buku-buku yang dicekal pemerintah, banyaknya aksi demo oleh kalangan
mahasiswa, terancamnya karier pejabat apabila diketahui menentang pemerintah,
serta banyak orang yang dihilangkan bahkan dibunuh tanpa diadili.
2. Saran
1.
Hendaknya penulis tidak
menggunakan teknik penceritaan dari berbagai tokoh agar tidak membingungkan
pembaca. Misalnya, saat di bab tersebut yang menceritakannya adalah Putri,
tiba-tiba ada sedikit selingan yang bercerita menjadi Ninik, Nuraini, bahkan
teman-teman kampusnya. Dan setelah itu, cerita kembali dikuasai Putri.
2.
Hendaknya pada masa itu
pemerintah lebih mengerti keinginan rakyatnya dan tidak semata-mata menuruti
keinginan pribadinya dengan membatasi kebebasan berpendapat.
3. Hendaknya
pembaca menggunakan teknik membaca kritis agar mengerti setiap konflik dan isi
dari novel ini.
Daftar Rujukan
1. Ibrahim,
Ratna Indraswari. 2012. 1998.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
4. Biografi Ratna
Indraswari Ibrahim, http://brangwetan.wordpress.com/2007/10/04/ratna-indraswari-ibrahim-sastrawan-malang.htm (diunduh Minggu, 26 Oktober 2014)
5. http://duniasastradanbahasa.blogspot.com/2011/06/definisi-prosa-puisi-dan-drama-menurut.html
(diunduh Sabtu, 8 November 2014)
0 komentar :
Posting Komentar