Kamis, 03 November 2016

Belajar Memaknai Kehidupan Lewat Puisi (Ringkasan Bedah Buku Angin Kembara)


Foto besama panitia dan guru

Holla! Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua panitia yang semuanya adalah anak Pramuka selaku pelaksana acara bedah buku di SMAN Mojoagung.  210 peserta yang merelakan waktunya dalam mendengarkan omongan saya yang kurang lebih satu jam, terlebih bagi peserta yang datang dari luar kota. Kalian luar biasa! 

Selanjutnya, bagi yang tidak kebagian tiket, kalian jangan berkecil hati. Doakan SMAN Mojoagung bisa mengadakan acara serupa dan membuka kuota untuk 500 peserta, hehe :-D. Baiklah saya akan merangkumkan hasil bedah buku kemarin agar yang tidak kebagian kuota bisa ikut merasakan ilmunya.

---
Apa yang ada di benak anak SMA ketika mendengar kata 'puisi'? Tentu mereka masih merasa 'puisi' adalah hal asing. Terlebih bagi mereka yang 'kurang' membaca sehingga wawasan yang diperoleh masih sedikit. Adapula yang menganggap puisi adalah karya sastra yang sulit ditulis apalagi dimaknai, dipahami bahkan dimengerti.

Saya cukup paham dengan problem semacam itu. Oleh sebab itu, Minggu (30/10/16) saya dan Fendi Kachonk sebagai pengulas buku puisi "Angin Kembara" mencoba mengenalkan sekaligus mengubah anggapan yang demikian.

Pertanyaan lain juga muncul, mengapa kita harus menulis puisi atau karya sastra lain?
Saya menegaskan bahwa menulis puisi adalah belajar memanusiakan manusia. Tidak hanya itu, hal yang sama juga berlaku saat kita menekuni sastra jenis apapun. Sebab itu, mengapa hati seorang penulis lebih lunak daripada orang lainnya? Jawabannya hanya itu, karena sastra menjadikan hati lunak, semakin lebih peka terhadap hal-hal kecil dalam kehidupan ini.


Seorang penulis memiliki tingkat kepekaan lebih tinggi sehingga mampu memaknai peristiwa. Puisi terkait dengan emosi,pengalaman, sikap dan pendapat-pendapat tentang situasi atau kejadian yang ditampilkan secara abstrak/implisit. 

Puisi bukan hanya sebagai sarana komunikasi antara penulis dan pembaca tetapi juga sebagai penjernihan batin, eksplorasi estetik serta inovasi gagasan. Peristiwa besar menikmati puisi pada hakikatnya menghayati suatu pengalaman secara intens, secara dalam. Sehingga berliterasi itu menjadi penting karena kaitannya dengan hati (perasaan). Manusia tidak hanya memiliki pikiran tetapi hati juga harus digunakan. Terlebih juga berkaitan dengan sikap, etika yang perannya luar biasa dalam kehidupan bermasyarakat.

Selanjutnya, Angin Kembara bagi saya adalah kepedihan yang membahagiakan. Buku ini hanyalah pengantar sebagai pembuka kesadaran 'melek' literasi bagi Anda semua (baca: para pembaca). Mungkin saya sadar lebih dahulu daripada kalian, tetapi saat ini adalah waktu yang tepat bagi kalian untuk sadar literasi. Sehingga diharapkan minimal kalian bisa membaca 1 buku dalam sebulan. Selanjutnya, bisa ditingkatkan dan lebih baik lagi kalau menulis.
Saat baca buku puisi "Angin Kembara" ft Fendi Kachonk dan Ramsi


Menulis itu panggilan jiwa. Ada saatnya jiwa kalian memanggil untuk menulis. Menulis itu menyenangkan sehingga jangan menjadikannya sebagai beban. Menurut Fendi Kachonk, buku Angin Kembara mampu merefleksikan kehidupan dari segi yang berbeda. Sama halnya ketik kita menulis tentang cinta, isi puisi tidaklah tentang cinta yang 'menye-menye', penggambaran cinta secara gamblang tetapi bagaimana kita mengolah diksi itu menjadi bait-bait yang menggambarkan cinta yang ditulis dari beberapa sudut pandang.

“Angin Kembara hanya berusaha mengingatkan pembaca, bahwa di dalam kehidupan terdapat beraneka ragam rasa dan emosi yang terbangun, sehingga kita sebagai manusia harus mempersiapkan ladang kesabaran untuk mencapai sebuah impian. Pada akhirnya buku ini menjadi berguna untuk para pembaca semua. Semoga.”

Pernyataan tersebut saya kutip dari sebagian kata pengantarnya Anggi dalam bukunya, melihat dan membaca pernyataan tersebut betapa saya melihat kematangan proses seorang Angi Putri yang menjadikan menulis adalah sebuah cara menyampaikan pesan, menitipkan ingatan, mengolah rasa lalu menuliskannya, tentu bisa jadi tidak hanya lewat puisi, bisa lewat novel dan cerpen, dan tiga genre sastra ini telah dilalui oleh Anggi. Hal yang saya kagumi adalah ketika ada pemuda yang begitu semangat, enerjik dengan mendidikasikannya waktunya untuk menulis dan menebar semangat untuk semua orang juga menulis. Dalam pernyataan itu pula Anggi paham betul medan yang ditempuh katanya, “kita sebagai manusia harus menyiapkan ladang kesabaran untuk mencapai sebuah impian.”


Menurut sebagian penulis, atau menurut saya juga bahwa menulis adalah jalan sunyi, jalan yang seolah tak nampak, tapi sangat penting dan sangat vital dalam kehidupan kekiniaan. Saat orang-orang  mulai sibuk dengan dirinya sendiri. Maka, salah satu cara adalah dengan menulis, dengan terus mengabarkan bahwa kerukunan, keakraban, alam dan lingkungan masih sangat luas untuk dijelajah dan perlu dirawat bersama. Nah, tema-tema sosial kerap hadir dalam puisi-puisi Anggi Putri. Saya satu persatu membaca dengan teliti, di samping kesiapan Anggi sebagai seorang penulis yang menanjak matang, meski di jalan ini tidak ada kata henti, waktu bergerak dengan cepat, dan siapapun layak terus meningkatkan kwalitasnya.



Dalam kumpulan puisi ini Anggi memang tak melulu menjadi orang lain. Tapi, dia sengaja melibatkan semua yang dia miliki, perasaan, penglihatan dalam membangun kepekaan dengan memasukkan tema-tema sosial juga perenungannya terhadap eksistensi diri yang tentunya,  Anggi terlibat aktif dalam melahirkan tema tersebut dan meraciknya dengan matang. Sehingga apabila Kumpulan Puisi ini saya ibaratkan makanan. Maka, makanan ini tidak cuma sekadar layak saji tapi halal dari proses awal sampai akhirnya. Berikut saya hadirkan satu puisi Anggi yang terbangun dalam kepekaan sosial.

NYANYIAN ODHA

dalam sunyi dan keterpurukan ia menyeru
sisa hidup yang terbelenggu
ia tak lupa tersenyum walau haru
hari-hari terkungkung waktu
siapakah yang akan mengulurkan
tangan-tangan kasih
setiap detik ia mengeja masa
yang akan habis tanpa sisa
jika tak ditelannya jalan kimiawi
menyelamatkan usia
bukan ia yang diperangi!
namun virus-virus bersemayam
dalam tubuh ringkih
odha tak mati
dengan mentari yang bersinar di hati
selalu mengisap napas tanpa letih

: menanti senja abadi

Surabaya, 4 Desember 2014

Dalam puisi tersebut, Anggi menghembuskan satu keperihan tapi tetap ada harapan, ada hembusan semangat yang terus dibangun oleh Anggi. Tentu saya mengenal sosok Anggi yang anti putus asa dalam tiap prosesnya dan semoga ini terus menjadi jalan inspirasi dan terus menginspirasi orang lain untuk juga peduli, untuk memulai menulis sejak dini, saat ini dan tak ada hari esok untuk menundanya. 

postingan instagram peserta


Semoga ringkasan acara ini dapat membantu kawan-kawan semua dalam memulai belajar memaknai puisi, belajar menulis puisi serta berliterasi. Bukankah tak ada kata terlambat untuk memulai hal positif? Berpikirlah besar dan bertindaklah sekarang!


Salam literasi!

3 komentar :

  1. Menulis puisi adalah belajar memanusiakan manusia. Setuju! Udah lama banget aku nggak nulis puisi mbak, jadi kepengen nulis lagi, tapi kalau nulis puisi sering buntu. Iya, aku juga ngerasain kalau menulis itu nyenengin mbak.

    BalasHapus